Total Tayangan Halaman

Materi tentang Puisi

PUISI

A. Pengertian Puisi

Secara etimologi kata puisi berasal dari bahasa Yunani ‘poema’ yang berarti membuat, ‘poesis’ yang berarti pembuat pembangun, atau pembentuk. Di Inggris puisi disebut poem atau poetry yang artinya tak jauh berbeda dengan to make atau to create, sehingga pernah lama sekali di Inggris puisi disebut maker. Puisi diartikan sebagai pembangun, pembentuk atau pembuat, karena memang pada dasarnya dengan mencipta sebuah puisi maka seorang penyair telah membangun, membuat, atau membentuk sebuah dunia baru, secara lahir maupun batin (Tjahyono, 1988: 50).
Sulit membuat batasan yang memuaskan terhadap pengertian puisi. Namun demikian perlu diterangkan beberapa definisi atau pendapat dari beberapa ahli sastra tentang puisi, untuk memperluas pandangan mengenai pengertian puisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan lirik dan bait (Depdikbud, 1988: 706).
HB. Jassin (1991: 40) mengatakan puisi adalah pengucapan dengan perasaan. Seperti diketahui selain penekanan unsur perasaan, puisi juga merupakan penghayatan kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya di mana puisi itu diciptakan tidak terlepas dari proses berfikir penyair. Bahkan aktivitas berfikir dalam puisi merupakan keterlibatan yang sangat tinggi, seperti yang diungkapkan Matheew Arnold yang dikutip Situmorang : “Poetry is the highly organized form of intellectual activity” (Situmorang, 1983: 7). Lebih lanjut Matheew Arnold mengatakan puisi adalah satu-satunya cara yang paling indah, impresif, dan yang paling efektif mendendangkan sesuatu. Demikian pula yang dinyatakan oleh John Dryen, puisi adalah musik yang tersusun rapi. Puisi adalah nada yang penuh keaslian dan keselarasan menurut Isaac Newton (Situmorang, 1991: 8 – 9). Thomas Chalye yang dikutip Waluyo mengatakan puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikal (Waluyo, 1991 : 23 )
Selain unsur musikal, puisi juga merupakan ekspresi pikiran dan ekspresi perasaan yang bersifat imajinatif. Hal-hal seperti yang dinyatakan para ahli yang dikutip H.G Tarigan dalam bukunya “Prinsip-Prinsip Dasar Sastra” sebagai berikut: (a) Samuel Johnson : puisi adalah seni pemaduan kegairahan dengan kebenaran, dengan mempergunakan imajinasi sebagai pembantu akal pikiran, (b) William Wordsworth : puisi adalah luapan spontan dari perasaan yang penuh daya, memperoleh rasanya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali ke dalam kedamaian, (c) Lord Byron : Puisi adalah lavanya imajinasi, yang letusannya mampu mencegah adanya gempa bumi, (d) Lescelles Abercrombie : Puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat. Dari beberapa pendapat tersebut dapat dirumuskan bahwa puisi adalah bentuk karangan kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan mengekspresikan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama secara imajinatif, dengan menggunakan unsur musikal yang rapi, padu dan harmonis sehingga terwujud keindahan. Jadi puisi adalah cara yang paling indah, impresif dan yang paling efektif dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
B. Unsur-Unsur Pembangun Puisi
Sebuah puisi adalah sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun. Unsur-unsur pembangun tersebut dinyatakan bersifat padu karena tidak dapat berdiri sendiri tanpa mengaitkan unsur yang satu dengan unsur yang lainnya. Unsur-unsur dalam sebuah puisi bersifat fungsional dalam kesatuannya dan juga bersifat fungsional terhadap unsur lainnya (Waluyo, 1991 : 25).
Puisi terdiri atas dua unsur pokok yakni struktur fisik dan struktur batin (Waluyo, 1991 : 29). Kedua bagian itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan unsur itu membentuk totalitas makna yang utuh.
Struktur batin puisi terdiri atas : tema, nada, perasaan, dan amanat. Sedangkan struktur fisik puisi terdiri atas diksi, pengimajian, kata kongkrit, majas, verifikasi dan tipografi puisi. Majas terdiri atas lambang dan kiasan, sedangkan verifikasi terdiri dari : rima, ritma dan metrum (Waluyo, 1991 : 28 )
Dari uraian di atas dapat disimpulkan unsur yang membangun puisi terdiri dari dua struktur yaitu unsur fisik dan struktur batin. Struktur fisik terdiri atas diksi, imaji, kata kongkrit, majas, verifikasi, dan tipografi. Struktur batin terdiri dari tema, perasaan, nada, suasana dan amanat.
1. Struktur Fisik Puisi
Struktur fisik puisi adalah unsur pembangun puisi dari luar (Waluyo, 1991:71). Puisi disusun dari kata dengan bahasa yang indah dan bermakna yang dituliskan dalam bentuk bait-bait. Orang dapat membedakan mana puisi dan mana bukan puisi berdasarkan bentuk lahir atau fisik yang terlihat.
Berikut ini akan dibahas struktur fisik puisi yang meliputi : diksi, imajinasi, kata konkret, majas, verifikasi, majas dan tipografi.
a. Diksi (Pilihan Kata)
Dalam menciptakan sebuah puisi penyair mempunyai tujuan yang hendak disampaikan kepada pembaca melalui puisinya. Penyair ingin mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami hatinya. Selain itu juga ia ingin mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjelmakan pengalaman jiwanya. Untuk itulah harus dipilih kata-kata yang setepat-tepatnya. Penyair juga ingin mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan cermat.
Penyair harus cermat memilih kata-kata karena kata-kata yang ditulis harus dipertimbangkan maknanya, kompisisi bunyi, dalam rima dan irama serta kedudukan kata itu di tengah konteks kata lainnya, dan kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu. Selain itu penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan daya magis kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair. Karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya (Waluyo, 1991:72)
Kalau dipandang sepintas lalu kata-kata yang dipergunakan dalam puisi pada umumnya sama saja dengan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Secara kalamiah kata-kata yang dipergunakan dalam puisi dan dalam kehidupan sehari-hari mewakili makna yang sama. Bahkan bunyi ucapanpun tidak ada bedanya (Tarigan, 1988:29)
Namun tidak demikian adanya penyair menggunakan bahasa yang berbeda bahasa sehari-hari. Hal ini disebabkan bahasa sehari-hari belum cukup dapat melukiskan apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu belum cukup dapat melukiskan apa yang dialami jiwanya. Karena dalam puisi itu belum cukup bila hanya mengemukakan maksudnya saja, yang dikehendaki penyair adalah supaya siapa saja yang membaca puisinya dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang dialami dan dirasakan penyair dalam puisinya (Pradopo, 1980:49)
Pilihan kata berguna untuk membedakan nuansa makna dan gagasan yang ingin disampaikan dan menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa sebuah puisi. Dengan memilih kata yang tepat berarti memfungsikan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca seperti yang dipikirkan dan dirasakan penulis pada saat menciptakan puisinya (Keraf, 1984:87)
Dalam memilih kata-kata yang tepat dan untuk menimbulkan makna serta gambaran yang jelas penyair harus mengerti denotasi dan konotasi sebuah kata (Pradopo, 1990:58). Hal ini disebabkan karena penyair berbeda dari penyair dari penyair lainnya (karya sastra lainnya) (Situmorang, 1981:27).
Dalam menentukan pilihan kata yang tepat sering terjadi pergumulan dalam diri penyair, bagaimana ia memilih kata-kata yang tepat, yang mengandung arti sesuai dengan maksud puisinya baik dalam arti denotatif maupun konotatif seperti dikatakan di atas. Hal ini dilakukan untuk menimbulkan gambaran yang jelas pada imajinasi pembacanya maupun pada makna puisinya (Situmorang, 1983:19).
Seperti dikatakan di atas puisi memiliki makna masing-masing. Namun secar umum makna kata dalam puisi digolongkan menjadi dua makna; konotasi dan denotasi. Makna denotasi artinya makna yang menunjuk pada arti sebenarnya dalam kamus, sedangkan makna denotasi artinya kata yang memiliki kemungkinan makna lebih dari satu (Waluyo, 1991: 73). Namun dalam puisi (karya sastra) sebuah kata tidak hanya mengandung makna denotasi saja (Pradopo, 1990:59). Hendaknya disadari bahwa kata dalam puisi lebih bersifat konotatif artinya memiliki kemungkinan makna yang lebih dari satu. Kata-kata dalam puisi dipilih dengan mempertimbangkan berbagai aspek estetis dan juga puitis artinya mempunyai efek keindahan yang berbeda dari kata-kata yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Maka kata-kata yang dipilih penyair bersifat absolut dan tidak bisa diganti. Jika diganti akan mengganggu kompisisi dan daya magis dari puisi itu sendiri (Waluyo, 1991: 73)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa diksi adalah pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan suasana yang diusahakan secermat dan seteliti mungkin, dengan mempertimbangkan arti sekecil-kecilnya baik makna denotatif, maupun makna konotatif, sehingga mampu mempengaruhi imajinasi pembacanya.
Jadi diksi selain penting juga merupakan sebagian dari ciri khas seorang penyair. Karena di antara penyair yang satu dengan penyair yang lain berbeda dalam pemilihan diksi. Maka jelaslah bahwa diksi itu sudah menjadi satu dengan penyairnya. Sehingga penggunaan diksi dalam puisi kita seakan bisa mengenal orangnya (penyairnya) atau namanya. Kecakapan seorang penyair menggunakan diksi akan membangkitkan imaji pada pembacanya (Situmorang, 1983:19).
b. Pengimajian (Imaji)
Semua penyair ingin menyuguhkan pengalaman batin yang pernah dialaminya kepada para pembacanya melalui karyanya. Salah satu usaha untuk memenuhi keinginan tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan kata-kata dalam puisinya (Tarigan, 1984:30). Ada hubungan yang erat antara pemilihan kata-kata, pengimajian dan kata konkret, di mana diksi yang dipilih harus menghasilkan dan karena itu kata-kata menjadi lebih konkret seperti yang kita hayati dalam penglihatan, pendengaran atau cita rasa. Pengimajian dibatasi dengan pengertian kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan (Waluyo, 1991: 97).
Pilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat dapat memperkuat serta memperjelas daya bayang pikiran manusia dan energi tersebut dapat mendorong imajinasi atau daya bayang kita untuk menjelmakan gambaran yang nyata. Dengan menarik perhatian kita pada beberapa perasaan jasmani sang penyair berusaha membangkitkan pikiran dan perasaan para penikmat sehingga mereka menganggap bahwa merekalah yang benar-benar mengalami peristiwa jasmaniah tersebut (Tarigan, 1984: 30).
Dalam karyanya, sang penyair berusaha sekuat tenaga dan sekuat daya dengan pilihan kata dan jalinan kata agar pembacanya dapat melihat, merasakan, mendengar seperti apa yang dilukiskan penyair melalui fantasinya (imajinya). Dengan jalan demikian penyair dapat menarik perhatian pembaca bahkan bisa meyakinkannya terhadap realitas dari segala sesuatu yang digambarkannya itu (Situmorang, 183: 20).
Imaji bisa muncul pada diri seseorang, apabila seseorang itu mau memikirkan dan mengimajinasikan sesuatu yang dibacanya melalui perasaan. Sebab semua manusia mengalami dan melihat apa yang ada di dunia ini melalui perasaannya. Jika kita pergi ke tepi pantai, kita melihat air laut dan pasir putih. Kita merasakan asinnya air garam. Kita merasakan panasnya matahari di kepala kita dan pasir panas di telapak kaki kita. Kita mendengar deburan ombak, kita dapat merasakan dinginnya, asinnya air laut. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa kita menikmati semuanya itu melalui pengalaman yang ada pada rasa kita. Jika kita kehilangan atau kekurangan rasa itu, semua hal di atas tidak akan dapat kita rasakan dan nikmati (Situmorang, 1981: 87).
Demikian pula halnya dengan penyair pada saat menciptakan puisi. Dengan serangkaian kata penyair berusaha memunculkan daya imajinasi dalam puisinya sehingga pembaca dapat memunculkan apa yang disampaikan penyair dalam puisinya ke dalam pikirannya dengan perasaan. Segala yang dirasai atau dialami secara imajinatif inilah yang biasa dikenal dengan istilah imagery atau imaji atau pengimajian (Tarigan, 1984:30). Bila seseorang membaca sebuah puisi yang melukiskan indahnya suasana pantai di pagi hari dan di saat senja datang. Maka yang muncul dalam imajinasi kita adalah ombang yang saling berkejaran, angin yang berhembus sejuk, kerlip-kerlip pasir pantai yang terkena sinar matahari menambah indahnya suasana pantai. Tidak terasa panorama pantai berubah menjadi senja. Sementara matahari tak bosannya menyengat kulit sampai hitam legam. Imajinasi ini muncul karena kita menggunakan perasaan. Tanpa perasaan semua hal di atas tidak akan dapat kita rasakan. Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata kongkrit yang khas (Waluyo, 1991:79)
Effendi menyatakan bahwa pengimajian dalam sajak dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya imaji dalam diri pembacanya, sehingga pembaca tergugah untuk menggunakan mata hati untuk melihat benda-benda, warna, dengan kelingan hati untuk melihat benda-benda, warna dengan teling hati mendengar bunyi-bunyian, dan dengan perasaan hati kita menyentuh kesejukan dan keindahan benda dan warna (Waluyo, 1991: 81).
Hal yang dilukiskan dalam imaji dapat kita hayati secara nyata selama kita sungguh-sungguh membaca dan memahami isi dan makna sebuah puisi (Waluyo, 1991: 79). Rahmat Djoko Pradopo menyatakan imaji adalah gambaran pikiran dan bahasa yang menggambarkannya (1990: 79).
Berdasarkan uraian dan pendapat di atas dapat disimpulkan pengimajian adalah susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris di mana pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, merasakan seperti apa yang dilihat, didengar dan dirasakan penyair dalam puisinya secara imajinatif melalui pengalaman dan rasa kita.
Dalam puisi kita kenal bermacam-macam (gambaran angan) yang dihasilkan oleh indera pengihatan, pendengaran, pengecapan, rabaan, penciuman, pemikiran dan gerakan (Pradopo, 1990: 81). Selanjutnya terdapat juga imaji penglihatan (visual), imaji pendengaran (auditif) dan imaji cita rasa (taktil) (Waluyo, 1991: 79). Semua imaji di atas bila dijadikan satu, secara keseluruhan dikenal beberapa macam imajinasi, yaitu :
1) Imajinasi Visuil, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seolah-olah seperti melihat sendiri apa yang dikemukakan atau diceritakan oleh penyair.
2) Imajinasi Auditory, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar sendiri apa yang dikemukakan penyair. Suara dan bunyi yang dipergunakan tepat sekali untuk melukiskan hal yang dikemukakan, hal ini sering menggunakan kata-kata onomatope.
3) Imajinasi Articulatory, yakni imajinasi yang menyebabkan pembaca seperti mendengar bunyi-bunyi dengan artikulasi-artikulasi tertentu pada bagian mulut waktu kita membaca sajak itu seakan-akan kita melihat gerakan-gerakan mulut membunyikannya, sehingga ikut bagian-bagian mulut kita dengan sendirinya
4) Imajinasi Olfaktory, yakni imajinasi penciuman atau pembawaan dengan membaca atau mendengar kata-kata tertentu kita seperti mencium bau sesuatu. Kita seperti mencium bau rumput yang sedang dibakar, kita seperti mencium bau tanah yang baru dicangkul, kita seperti mencium bau bunga mawar, kita seperti mencium bau apel yang sedap dan sebagainya.
5) Imajinasi Gustatory, yakni imajinasi pencicipan. Dengan membaca atau mendengar kata-kata atau kalimat-kalimat tertentu kita seperti mencicipi suatu benda yang menimbulkan rasa asin, pahit, asam dan sebagainya.
6) Imajinasi Faktual, yakni imajinasi rasa kulit, yang menyebabkan kita seperti merasakan di bagian kulit badan kita rasanya nyeri, rasa dingin, atau rasa panas oleh tekanan udara atau oleh perubahan suhu udara.
7) Imajinasi Kinaestetik, yakni imajinasi gerakan tubuh atau otot yang menyebabkan kita merasakan atau melihat gerakan badan atau otot-otot tubuh.
8) Imajinasi Organik, yakni imajinasi badan yang menyebabkan kita seperti melihat atau merasakan badan yang capai, lesu, loyo, ngantuk, lapar, lemas, mual, pusing dan sebagainya.
Imaji-imaji di atas tidak dipergunakan secara terpisah oleh penyair melainkan dipergunakan bersama-sama, saling memperkuat dan saling menambah kepuitisannya (Pradopo, 1990: 81).
c. Kata Konkret
Untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca, maka kata-kata harus diperkonkret. Maksudnya adalah bahwa kata-kata itu dapat mengarah pada arti secara keseluruhan. Seperti halnya pengimajian, kata yang diperkonkret erat kaitannya dengan penggunaan bahasa kiasan dan lambang. Jika seorang penyair mahir dalam memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah dapat melihat, mendengar, atau merasa seperti apa yang dilukiskan oleh penyair (Waluyo, 1991: 81).
Sedangkan yang dimaksud dengan kata konkret sendiri ialah kata-kata yang jika dilihat secara denotatif sama tetapi secara konotatif tidak sama karena disesuaikan dengan kondisi dan situasi pemakainya. Misalnya pemakaian kata-kata senja, senyap, camar, bakau, teluk benang raja dalam sajak Amir Hamzah dalam “Berdiri Aku” benar-benar merupakan kata yang sesuai untuk mendukung makna dari puisinya (Situmorang, 1983: 20).
Dengan kata yang diperkonkret makin memperjelas gagasan penyair dengan begitu pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa, perasaan, keadaan yang dialami penyair pada saat menciptakan puisinya. Misalnya puisi yang berjudul : “Gadis Peminta-minta”. Untuk melukiskan gadis itu benar-benar seorang pengemis, gembel maka penyair menggunakan kata-kata gadis kecil berkaleng kecil lukisan itu lebih konkret dari pada gadis peminta ataupun gadis miskin begitu saja.
Jadi yang dimaksud konkret adalah kata yang dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh, dengan demikian pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa, keadaan, maupun sesuatu yang digambarkan penyair sehingga pembaca dapat memahami arti puisi.
d. Bahasa Figuratif
Penyair menggunakan bahasa yang bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi prismatis artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna. Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan oleh penyair untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yakni secara tidak langsung mengunkapkan makna kata atau bahasanya bermakna kias atau makna lambang (Waluyo, 1991: 83).
Bahasa kias merupakan wujud penggunaan bahasa yang mampu mengekspresikan makna dasar ke asosi lain. Kiasan yang tepat dapat menolong pembaca merasakan dan melihat seperti apa yang dilihat atau apa yang dirasakan penulis. Seperti yang diungkapkan Rahmad Djoko Pradopo bahwa kias dapat menciptakan gambaran angan/ citraan (imagery) dalam diri pembaca yang menyerupai gambar yang dihasilkan oleh pengungkapan penyair terhadap obyek yang dapat dilihat mata, saraf penglihatan, atau daerah otak yang bersangkutan (1990: 80).
Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan penyair karena: (1) Bahasa figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2) Bahasa figuratif dalah cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak menjadi kongret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, (3) Bahasa figuratif adalah cara menambah intensitas, (4) Bahasa Figuratif adalah cara untuk mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat (Waluyo, 1991: 83).
Untuk memahami bahasa figuratif ini, pembaca harus menafsirkan kiasan dan lambang yang konvensional maupun yang nonkonvensional. Menurut uraian di atas bahasa figuratif adalah cara yang dipergunakan oleh penyair untuk membangkitkan dan menciptakan imagery dengan mempergunakan gaya bahasa, gaya perbandingan, gaya kiasan, gaya pelambang sehingga makin jelas makna atau lukisan yang hendak dikemukakan penyair melalui puisinya. Bahasa kias yang biasa terdapat dalam puisi :
1) Perbandingan/ perumpamaan (simile)
Perbandingan atau perumpamaan (simile) ialah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal yang lain dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, bak, semisal, seumpama, laksana dan kata-kata pembanding lainnya.

2) Metafora
Bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding seperti bagai, laksana dan sebagainya. Metafora melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain (Becker, 1978: 317). Metafora ini menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga denan yang lain yang sesungguhnya tidak sama.
3) Personifikasi
Kiasan ini mempersamakan benda dengan manusia. Benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berfikir dan sebagainya. Seperti halnya manusia dan banyak dipergunakan penyair dulu sampai sekarang. Personifikasi membuat hidup lukisan di samping itu memberi kejelasan beberan,memberikan bayangan angan yang konkret.
4) Hiperbola
Kiasan yang berlebih-lebihan. Penyair merasa perlu melebih-lebihkan hal yang dibandingkan itu agar mendapat perhatian yang lebih seksama dari pembaca. 

5) Metonimia
Bahasa kiasan yang lebih jarang dijumpai pemakaiannya. Metonimia ini dalam bahasa Indonesia sering disebut kiasan pengganti nama. Bahasa ini berupa penggunaan sebuah atribut sebuah obyek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat hubungannya dengan mengganti obyek tersebut.
6) Sinekdoki (Syneadoche)
Bahasa kiasan yang menyebutkan sesuatu bagian yang penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal itu sendiri.
Sinekdoke ada dua macam :
- Pars Prototo : sebagian untuk keseluruhan
- Totum Proparte : keseluruhan untuk sebagian
(Pradopo, 1990: 78). 

7) Allegori
Cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan atau lukisan kiasan ini mengkiaskan hal lain atau kejadian lain.
Perlambangan yang dipergunakan dalam puisi :
a) Lambang warna
b) Lambang benda : penggunaan benda untuk menggantikan sesuatu yang ingin diucapkan.
c) Lambang bunyi : bunyi yang diciptakan penyair untuk melambangkan perasaan tertentu.
d) Lambang suasana : suasana yang dilambangkan dengan suasana lain yang lebih konkret.
e. Versifikasi (Rima, Ritma dan Metrum)
Versifikasi terdiri dari rima, ritma dan metrum.  
1) Rima
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca.
Dalam puisi banyak jenis rima yang kita jumpai antara lain :
a) Menurut bunyinya :
1) Rima sempurna bila seluruh suku akhir sama bunyinya
2) Rima tak sempurna bila sebagian suku akhir sama bunyinya
3) Rima mutlak bila seluruh bunyi kata itu sama
4) Asonansi perulangan bunyi vokal dalam satu kata
5) Aliterasi : perulangan bunyi konsonan di depan setiap kata secara berurutan
6) Pisonansi (rima rangka) bila konsonan yang membentuk kata itu sama, namun
vokalnya berbeda.
b) Menurut letaknya :
1) Rima depan : bila kata pada permulaan baris sama
2) Rima tengah : bila kata atau suku kata di tengah baris suatu puisi itu sama
3) Rima akhir bila perulangan kata terletak pada akhir baris
4) Rima tegak bila kata pada akhir baris sama dengan kata pada permulaan baris
berikutnya.
5) Rima datar bila perulangan itu terdapat pada satu baris.
c) Menurut letaknya dalam bait puisi :
1) Rima berangkai dengan pola aabb, ccdd……….
2) Rima berselang dengan pola abab, cdef……
3) Rima berpeluk dengan pola abba, cddc……..
4) Rima terus dengan pola aaaa, bbbb……..
5) Rima patah dengan pola abaa, bcbb……
6) Rima bebas : rima yang tidak mengikuti pola persajakan yang disebut sebelumnya (Waluyo, 1991: 93).
7) Efoni kombinasi bunyi yang merdu dan indah untuk menggambarkan perasaan mesra, kasih sayang, cinta dan hal-hal yang menggembirakan.
8) Kakafoni kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau dan tidak cocok untuk memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau, serba tak teratur, bahkan memuakkan.
2) Ritma
Pertentangan bunyi, tinggi rendah, panjang pendek, keras lemah, yang mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan (Waluyo, 1991:94). Ritma terdiri dari tiga macam, yaitu :
1) Andante : Kata yang terdiri dari dua vokal, yang menimbulkan irama lambat
2) Alegro : Kata bervokal tiga, menimbulkan irama sedang
3) Motto Alegro : kata yang bervokal empat yang menyebabkan irama cepat. 

3) Metrum
Perulangan kata yang tetap bersifat statis (Waluyo, 1991:94). Nama metrum didapati dalam puisi sastra lama. Pengertian metrum menurut Pradopo adalah irama yang tetap, pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu (Pradopo, 1990: 40). Peranan metrum sangat penting dalam pembacaan puisi dan deklamasi. Ada bermacam tanda yang biasa diberikan pada tiap kata. Untuk tekanan keras ditandai dengan ( / ) di atas suku kata yang dimaksudkan, sedangkan tekanan lemah diberi tanda ( U ) di atas suku katanya.
f. Tipografi
Salah satu ciri yang membedakan puisi dengan karya sastra lain pada bentuk tulisannya atau tata wajah. Melalui indera mata tampak bahwa puisi tersusun atas kata-kata yang membentuk larik-larik puisi. Larik-larik itu disusun ke bawah dan terikat dalam bait-bait.
Banyak kata, larik maupun bait ditentukan oleh keseluruhan makna puisi yang ingin dituliskan penyair. Dengan demikian satu bait puisi bisa terdiri dari satu kata bahkan satu huruf saja. Dalam hal cara penulisannya puisi tidak selalu harus ditulis dari tepi kiri dan berakhir di tepi kanan seperti bentuk tulisan umumnya. Susunan penulisan dalam puisi disebut tipografi (Pradopo, 1990:210).
Struktur fisik puisi membentuk tipografi yang khas puisi. Tiprografi puisi merupakan bentuk visual yang bisa memberi makna tambahan dan bentuknya bisa didapati pada jenis puisi konkret. Tipografi bentuknya bermacam-macam antara lain berbentuk grafis, kaligrafi, kerucut dan sebagainya. Jadi tipografi memberikan ciri khas puisi pada periode angkatan tertentu.
2. Struktur Batin Puisi
Struktur batin puisi atau struktur makna merupakan pikiran perasaan yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1987: 47). Struktur batin puisi merupakan wacana teks puisi secara utuh yang mengandung arti atau makna yang hanya dapat dilihat atau dirasakan melalui penghayatan.
Tanpa penghayatan unsur-unsur puisi yang membangun dari dalam, mustahil dapat memahami puisi secara benar. Struktur batin puisi merupakan isi/ makna yang sesungguhnya ingin diekspresikan penyair melalui puisinya. karena struktur batin itu merupakan sesuatu yang tersirat di balik yang tersurat, maka pembaca harus terlibat secara mendalam, baik fisik, mental maupun pikiran untuk mengetahui atau memahami hakekat makna sebuah puisi yang sesungguhnya.
Menurut I.A Richards sebagaimana yang dikutip Herman J. Waluyo menyatakan batin puisi ada empat, yaitu : tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), amanat (intention) (Waluyo, 1991: 180-181). Berikut ini akan dibahas struktur batin puisi.
a. Tema
Seorang penyair dalam menciptakan puisi selalu mempunyai keinginan dan tujuan. Keinginan dan tujuan itu disampaikan penyair kepada pembaca melalui puisinya. Keinginan berhubungan langsung dengan penyair, penyair ingin agar apa yang menjadi makna dan isi dari puisinya dapat dipahami dan pembaca tidak mendapatkan kesulitan dalam menafsirkan puisinya. Sedangkan tujuan berhubungan langsung dengan pembaca, penyair berharap setelah membaca dan memahami isi serta pesan moral dalam puisinya dapat menambah pengetahuan dan pengalaman pembaca tentang hidup dan kehidupan.
Jika kita berhadapan dengan puisi kita tidak hanya berhadapan dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak diucapkan oleh penyair. Setiap puisi mengandung suatu pokok persoalan (subject matter) yang hendak dikemukakan (Situmorang, 1983:12). Tema merupakan gagasan pokok atau subject matter yang dikemukakan penyair (Waluyo, 1991:106). Jadi jelas bahwa dengan puisinya penyair ingin mengemukakan sesuatu bagi pembaca melalui puisinya. Sang penyair melihat, mengalami beberapa kejadian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dia ingin mengemukakan, mempersoalkan, mempermasalahkan hal-hal itu dengan caranya sendiri. Atau dengan kata lain sang penyair ingin mengemukakan pengalaman pribadinya kepada para pembaca melalui puisinya (Tarigan, 1985: 10). Pokok pikiran atau pokok persoalan itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama pengucapannya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan. Jika desakan yang kuat berupa rasa belas kasih atau kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika yang kuat adalah dorongann untuk memproses ketidakadilan, maka tema puisinya adalah protes atau kritik sosial. Perasaan cinta atau patah hati yang kuat juga dapat melahirkan tema cinta atau tema kedukaan hati karena cinta (Waluyo, 1991: 106-107).
Jadi tidak ada puisi yang tidak mempunyai sesuatu yang hendak dikemukakannya. Walaupun sering penyair sangat lihai menutup-nutupi atau menyelubungi maksud puisinya dibalik kata-kata sehingga pembaca harus bekerja keras untuk memahami dan menafsirkannya. Tapi pasti ada sesuatu yang hendak dikemukakannya. Inilah yang disebut sense (Situmorang, 1983: 12).
Tema berhubungan langsung dengan pengarangnya yang tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain falsafah hidup, lingkungan, agama, pekerjaan dan pendidikan. (1985: 10). Hal ini didukung oleh pendapat Herman J. Waluyo yang mengatakan bahwa tema puisi harus dihubungkan dengan penyairnya, dengan konsep-konsepnya yang terimajinasikan (Waluyo, 1991: 106-107).
Sebuah puisi bisa menyenangkan karena bersifat menghibur, mengemukakan sesuatu yang menarik atau mengagumkan, namun sebuah puisi tidak hanya bersifat menghibur tetapi juga berupa nasehat-nasehat yang berupa dorongan moral atau berupa pengajaran akan kebenaran yang bersifat spiritual dan rohaniah yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Kita tidak akan dapat memahami tema dari sebuah puisi kalau hanya membaca sekilas saja (Tjahyono, 1988:68). Karena penyair tidak langsung membeberkan dan menjelaskan apa tema yang ada di dalam puisinya. dengan membaca berulang-ulang sedikit demi sedikit, pembaca akan menemukan isi dari puisi itu kemudian mengambil pengalaman yang diperoleh untuk diri sendiri maka itu tandanya penyair telah bekerja dengan baik dan pembaca mendapatkan kenikmatan dari puisi yang dibacanya (Situmorang, 1983: 36).
Seorang sastrawan akan merasa bangga apabila apa yang disampaikan dalam puisinya dapat diterima dengan baik dan dipahami oleh pembaca, serta pembaca tidak mengalami kesulitan untuk menafsirkan (Sumardjo, 1982:13). Dari uraian di atas dapat disimpulkan sesuatu yang digambarkan penyair dalam puisinya disebut tema, sedangkan pokok persoalan yang hendak dikemukakan penyair dalam puisinya disebut subject matter. Jadi tema membangun puisi secara umum dan subject matter membangun puisi secara khusus.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan tema adalah sesuatu yang diciptakan atau digambarkan penyair melalui puisinya yang mengandung suatu pokok persoalan yang hendak dikemukakan. Tema juga merupakan latar belakang terciptanya sebuah puisi, yang tidak dapat dipisahkan dari pengarangnya.
Dengan latar belakang pengetahuan yang sama, penafsir-penafsir puisi akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah puisi, karena tafsir puisi bersifat lugas, obyektif dan khusus (Waluyo, 1991: 107). Berikut ini dipaparkan macam-macam tema puisi sesuai dengan Pancasila.
1) Tema Ke-Tuhanan
Puisi-puisi bertema ke-Tuhanan biasanya akan menunjukkan religius experience atau “pengalaman religi” penyair yang didasarkan tingkat kedalaman pengalaman ke-Tuhanan seseorang. Dapat juga dijelaskan sebagai tingkat kedalaman iman seseorang terhadap agamanya atau lebih luas lagi terhadap Tuhan atau kekuasaan gaib (Waluyo, 1991:107). Kedalaman rasa ke-Tuhanan itu tidak lepas dari bentuk fisik yang terlahir dalam pemilihan kata, ungkapan, lambang, kiasan dan sebagainya yang menunjukkan betapa erat hubungan antara penyair dengan Tuhan. Juga menunjukkan bagaimana penyair ingin Tuhan mengisi seluruh kalbunya. (Waluyo, 1991:108).
2) Tema Kemanusiaan
Tema kemanusiaan bermaksud menunjukkan betapa tingginya martabat manusia dan bermaksud meyakinkan pembaca bahwa setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama. Perbedaan kekayaan, pangkat dan kedudukan seseorang tidak boleh menjadi sebab adanya perbedaan perlakuan terhadap kemanusiaan seseorang (Waluyo, 1991:112)
3) Tema Patriotisme / Kebangsaan
Tema patriotisme dapat meningkatkan perasaan cinta aka bangsa dan tanah air. Banyak puisi yang melukiskan perjuangan merebut kemerdekaan dan mengisahkan riwayat pahlawan yang berjuang merebut kemerdekaan atau melawan penjajah. Tema patriot juga dapat diwujudkan dalam bentuk usaha penyair untuk membina kesatuan bangssa atau membina rasa kenasionalan (Waluyo, 1991:115)
4) Tema Kedaulatan Rakyat
Penyair begitu sensitif perasaannya untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat dan menentang sikap sewenang-wenang pihak yang berkuasa, didapati dalam puisi protes. Penyair berharap orang yang berkuasa memikirkan nasib si miskin. Diharapkan penyair agar kita semua mengejar kekayaan pribadi, namun juga mengusahakan kesejahteraan bersama.
5) Tema Keadilan Sosial
Nada protes sosial sebenarnya lebih banyak menyuarakan tema keadilan sosial dari pada tema kedaulatan rakyat. Yang dituliskan dalam tema keadilan sosial adalah ketidakadilan dalam masyarakat dengan tujuan untuk mengetuk nurani pembaca agar keadilan sosial ditegakkan dan diperjuangkan.
b. Perasaan (Feeling)
Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkannya. Perasaan penyair dalam puisinya dapat dikenal melalui penggunaan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam puisinya karena dalam menciptakan puisi suasana hati penyair juga ikut diekspresikan dan harus dapat dihayati oleh pembaca (Waluyo, 1991:121).
Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa setiap manusia mempunyai sikap dan pandangan tertentu dalam menghadapi setiap pokok yang diekspresikan. Sikap-sikap itu mungkin saja bisa berupa kemarahan, kasihan, simpati, acuh tak acuh, rindu, sedih, gelisah dan lain sebagainya (Tjahyono, 1988:71).
Jadi perasaan adalah sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkan dalam puisinya, yang merupakan gambaran perasaan yang dialami penyair pada saat menciptakan puisinya.
c. Nada dan Suasana
1) Nada adalah sikap penyair terhadap pembaca berkenaan dengan pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya (Tjahyono, 1988:71). Hal ini seperti dikemukakan Tarigan bahwa nada adalah sikap penyair terhadap para penikmatnya (Tarigan, 1985: 13).
2) Dalam menulis puisi, penyair memiliki sikap tertentu yang ditujukan kepada pembacanya, apakah penyair itu bersikap menggurui, angkuh, membodohkan, rendah hati, mengejek, menyindir atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca (Waluyo, 1991:125).
3) Nada dalam puisi dapat diketahui dengan memahami apa yang tersurat, yaitu bahasa/ ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam puisi.
4) Nada berhubungan dengan suasana, karena nada menimbulkan suasana tertentu pada pembacanya. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca (sikap pembaca) setelah membaca puisi, atyau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi terhadap pembaca (Waluyo, 1991:71). Misalnya : puisi yang bernada duka menimbulkan suasana iba hati pada pembaca, nada khusuk dapat menimbulkan suasana khusuk.
d. Amanat
Penyair sebagai sastrawan dan anggota masyarakat baik secara sadar atau tidak merasa bertanggugjawab menjaga kelangsungan hidup sesuai dengan hati nuraninya. Oleh karena itu, puisi selalu ingin mengandung amanat (pesan). Meskipun penyair tidak secara khusus dan sengaja mencantumkan amanat dalam puisinya. amanat tersirat di balik kata dan juga di balik tema yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1991:130). Amanat adalah maksud yang hendak disampaikan atau himbauan,pesan, tujuan yang hendak disampaikan penyair melalui puisinya.

C. Pembelajaran Apresiasi Puisi

Pembelajaran apresiasi sastra meliputi pembelajaran apresiasi puisi, prosa, dan drama. Ada beberapa prinsip dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut. (1) Pembelajaran sastra berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada budaya bangsa. (2) Pembelajaran sastra memberikan kepuasan batin dan pengayaan daya estetis melalui bahasa. (3) Pembelajaran apresiasi sastra bukan pelajaran sejarah, aliran, dan teori sastra. (4) Pembelajaran apresiasi sastra adalah pembelajaran untuk memahami nilai kemanusiaan di dalam karya yang dapat dikaitkan dengan nilai kemanusiaan di dalam dunia nyata.
Pembelajaran apresiasi puisi dapat dilakukan dengan memadukannya dengan empat aspek keterampilan berbahasa, yakni: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam pembelajaran apresiasi sastra, baik prosa, puisi, maupun drama, siswa tidak hanya sekadar sebagai penikmat hasil sastra (pembaca atau pendengar) saja namun siswa juga dituntut untuk kreatif menulis.
Pada pembelajaran apresiasi puisi yang berkaitan dengan tujuan tersebut dapat dilakukan dengan cara membaca, mendeklamasikan, menciptakan puisi, dan mendiskusikan tema, keindahan bahasa, serta hal-hal yang menarik dari puisi tersebut. Kegiatan yang dilakukan siswa antara lain berikut ini:
(1) Puisi yang telah disiapkan guru (dapat juga yang telah ditulis oleh siswa) dibaca oleh siswa atau dideklamasikan siswa. Setelah siswa membaca/mendeklamasikan puisi tentu siswa memperoleh pengalaman tentang isi, bahasa, dan gaya bahasa yang digunakan.
(2) Puisi yang telah dibaca didiskusikan dari berbagai segi yang menarik untuk didiskusikan. Misalnya: wujudnya, sudut penuturan, pokok yang diungkapkan, sudut pandang, perasaan yang terlibat di dalamnya, amanat, tema, dan sebagainya. Tentang wujud puisi, dibahas antara lain: bait, larik, dan sajak. Tentang sudut penuturan, misalnya: dibahas siapa yang bertutur dan kepada siapa dia bertutur, serta bagaimana nada penuturannya. Tentang pokok yang diungkapkan, dibahas hal-hal apa yang dikisahkan, digambarkan, atau didialogkan. Tentang perasaan, dibicarakan tentang perasaan yang terlibat di dalamnya, misalnya: sedih, gembira, rindu, benci, dan tertekan. Tentang amanat, dibicarakan tentang apa yang ingin dibicarakan penyair melalui puisi tersebut, juga apakah amanat dalam puisi tersebut tersirat ataukah tersurat.
(3) Setelah dilakukan pembahasan puisi tersebut dibaca lagi, dinikmati lagi secara utuh. Dengan demikian diharapkan pemahaman yang lebih tinggi lagi serta pemahaman yang lebih jelas tentang puisi yang akan dibaca.
(4) Hasil pembahasan puisi itu dihubungkan pula dengan kehidupan masingmasing siswa sehingga puisi menjadi lebih bermakna dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Demikian kemungkinan penyajian bahan pengajaran puisi di sekolah. Untuk pencapaian penulisan kreatif, dapat juga dilakukan kegiatan menulis puisi yang sesuai dengan tema yang ditentukan atau dipilih siswa. Untuk menulis puisi bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi perlu motivasi yang tinggi oleh guru untuk membangkitkan semangat menulis puisi. Puisi yang mereka tulis dapat dipajang di majalah dinding atau majalah sekolah.
Kebermaknaan sebuah puisi dapat dilakukan dengan memadukan bidang seni lain. Misalnya, teknik yang dapat dilakukan guru di sekolah adalah musikalisasi puisi, yaitu perpaduan antara seni musik dan seni sastra di kalangan siswa. Untuk musikalisasi puisi ini diperlukan alat-alat musik yang dikuasai siswa. Keterpaduan lain yang dapat dilakukan adalah keterpaduan antara seni lukis dengan puisi. Sebuah lukisan bunga, misalnya, dapat ditulis dengan sebuah puisi yang berkaitan dengan bunga tersebut sehingga ekspresi kedua bidang seni lebih terasa.