PROSA
A. Prosa dan Unsur-Unsurnya
1. Pengertian Prosa dan Jenis-Jenisnya
Definisi dari prosa itu sendiri ialah karangan bebas yang tidak terikat oleh banyaknya baris, banyaknya suku kata, serta tak terikat oleh irama dan rimanya seperti dalam puisi. Sehingga prosa dapat dibedakan menjadi prosa lama dan prosa baru.
a. Prosa Lama
Yang termasuk dalam prosa lama ialah:
1) Hikayat
Yang termasuk dalam prosa lama ialah:
1) Hikayat
Ialah yang mengisahkan tentang kehidupan raja-raja dewa-dewa. Dalam hikayat biasanya melukiskan kesaktian atau kehebatan pelakunya.
1) Cerita-cerita Panji
Disebut juga hikayat yang berasal dari kesusastraan Jawa yang berkisah tentang 4 kerajaan di pulau Jawa yaitu : kerajaan Jenggala, Kediri, Ngurawan dan Singosari.
Disebut juga hikayat yang berasal dari kesusastraan Jawa yang berkisah tentang 4 kerajaan di pulau Jawa yaitu : kerajaan Jenggala, Kediri, Ngurawan dan Singosari.
2) Cerita Berbingkai
Ialah cerita yang di dalamnya ada pula ceritanya. Cerita dalam cerita itu disebut cerita sisipan. Kadang kala cerita sisipan itu di dalamnya ada pula cerita. Sehingga cerita berbingkai ini menjadi cerita yang bersusun-susun.
Ialah cerita yang di dalamnya ada pula ceritanya. Cerita dalam cerita itu disebut cerita sisipan. Kadang kala cerita sisipan itu di dalamnya ada pula cerita. Sehingga cerita berbingkai ini menjadi cerita yang bersusun-susun.
3) Tambo
Ialah cerita sejarah yang tidak sepenuhnya mengandung kebenaran, karena dicampurkan dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
Ialah cerita sejarah yang tidak sepenuhnya mengandung kebenaran, karena dicampurkan dengan hal-hal yang tidak masuk akal.
4) Dongeng
Ialah cerita yang lahir dari khayalan pengarangnya. Jadi dongeng bukan merupakan cerita yang benar-benar terjadi.
Menurut isinya dongen dapat dibagi menjadi :
1. Dongeng yang lucu ialah cerita yang menggelikan. Contoh: Si Kabayan, Abu Nawas, Jaka Kendil, Pak Belalang.
2. Fabel ialah dongeng tentang binatang. Contoh: Buaya dan Kera, Si Kancil, Anjing yang Loba, Pelanduk Jenaka
3. Sage ialah dongeng yang di dalamnya terkandung unsur sejarah. Contoh Lutung Kasarung, Damarwulan, Ciyung Wanara, Angleng Darma.
4. Legenda ialah dongeng yang mengada-ada dihitungkan dengan kenyataan dalam alam. Contoh: Gunung Tangkuban Perahu, Si Malin Kundang Anak Durhaka, Nyai Rara Kidul, dll.
Ialah cerita yang lahir dari khayalan pengarangnya. Jadi dongeng bukan merupakan cerita yang benar-benar terjadi.
Menurut isinya dongen dapat dibagi menjadi :
1. Dongeng yang lucu ialah cerita yang menggelikan. Contoh: Si Kabayan, Abu Nawas, Jaka Kendil, Pak Belalang.
2. Fabel ialah dongeng tentang binatang. Contoh: Buaya dan Kera, Si Kancil, Anjing yang Loba, Pelanduk Jenaka
3. Sage ialah dongeng yang di dalamnya terkandung unsur sejarah. Contoh Lutung Kasarung, Damarwulan, Ciyung Wanara, Angleng Darma.
4. Legenda ialah dongeng yang mengada-ada dihitungkan dengan kenyataan dalam alam. Contoh: Gunung Tangkuban Perahu, Si Malin Kundang Anak Durhaka, Nyai Rara Kidul, dll.
b. Prosa Baru
Bila dalam prosa lama kita dibawa pada alam khayal atau santai, namun dalam prosa baru kita dibawa pada peristiwa-peristiwa yang kita hayati dan alami tiap hari.
Prosa baru dapat dibedakan menjadi:
Prosa baru dapat dibedakan menjadi:
1) Roman
Ialah cerita yang melukiskan sesuatu kehidupan manusia, baik perbuatan lahir maupun peristiwa-peristiwa batinnya.
2) Novel
Bila dalam roman biasanya dikisahkan seluruh kisah hidup tokohnya, dari masa kanak-kanak hingga dewasa sampai meninggal dunia, tetapi dalam novel yang dilukiskan hanya sebagian dari hidupnya tokoh cerita, yaitu bagian hidupnya yang merubah nasib tokoh tersebut. Bila roman beraliran romantik, sedangkan novel beraliran ralisme(kenyataan),
kadang-kadang naturalisme(alamiah).
Bila dalam roman biasanya dikisahkan seluruh kisah hidup tokohnya, dari masa kanak-kanak hingga dewasa sampai meninggal dunia, tetapi dalam novel yang dilukiskan hanya sebagian dari hidupnya tokoh cerita, yaitu bagian hidupnya yang merubah nasib tokoh tersebut. Bila roman beraliran romantik, sedangkan novel beraliran ralisme(kenyataan),
kadang-kadang naturalisme(alamiah).
3) Cerpen
Ialah semacam cerita rekaan yang sering kita jumpai pada media cetak. Dalam novel kritis (pergolakan) jiwa pelaku mengakibatkan perubahan nasib, tetapi dalam cerpen kritis tersebut tidak harus mengakibatkan perubahan nasib tokoh pelakunya.
Ialah semacam cerita rekaan yang sering kita jumpai pada media cetak. Dalam novel kritis (pergolakan) jiwa pelaku mengakibatkan perubahan nasib, tetapi dalam cerpen kritis tersebut tidak harus mengakibatkan perubahan nasib tokoh pelakunya.
4) Kisah
Dalam kesusastraan modern kisah sama saja dengan cerita biasa, yaitu yang menceritakan tentang sesuatu hal baik benda hidup maupun benda mati.
Dalam kesusastraan modern kisah sama saja dengan cerita biasa, yaitu yang menceritakan tentang sesuatu hal baik benda hidup maupun benda mati.
5) Biografi dan Otobiografi
Biografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh orang lain.
Otobiografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh diri sendiri.
Biografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh orang lain.
Otobiografi ialah catatan riwayat hidup yang ditulis oleh diri sendiri.
6) Esai
Esai ialah suatu kupasan atau pembicaraan tentang obyek kebudayaan atau seni. Peninjauan obyek itu sendiri pandangan penulis esai tersebut, itulah sebabnya esai bersifat subyektif. Penulis esai tidak menggubah sesuatu, ia hanya membicarakan suatu cipta hasil karya orang lain.
Esai ialah suatu kupasan atau pembicaraan tentang obyek kebudayaan atau seni. Peninjauan obyek itu sendiri pandangan penulis esai tersebut, itulah sebabnya esai bersifat subyektif. Penulis esai tidak menggubah sesuatu, ia hanya membicarakan suatu cipta hasil karya orang lain.
2. Prosa Naratif dan Unsur-Unsurnya
Bagian ini membahas unsur-unsur prosa naratif/narasi (kisahan). Dalam buku berjudul Membaca Sastra prosa narasi didefinisikan sebagai semua teks/karya rekaan yang tidak berbentuk dialog, yang isinya dapat merupakan kisah sejarah atau sedereran peristiwa. Ke dalam kelompok ini dapat dimasukkan roman/novel, cerita pendek, dongeng, catatan harian, otobiografi, biografi, anekdot, lelucon, roman dalam bentuk surat-menyurat (epistoler), cerita fantastik maupun realistik.
Pada dasarnya prosa naratif dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instrinsik meliputi segala unsur yang membangun dari dalam karya sastra itu sendiri. Unsur yang membangun dari dalam antara lain: a) plot, b) penokohan dan perwatakan, c) sudut pandang (point of view), d) latar atau setting, dan e) tema.
Unsur ekstrinsik adalah segala unsur dari luar karya sastra yang turut membangun sebuah karya sastra. Dalam buku yang berjudul Sastra Indonesia Pengantar Teori dan Apresiasi dikatakan bahwa segi ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang berada di luar karya sastra, namun amat mempengaruhi karya sastra tersebut. (1988: 45).
Rene Wellek dan Austin Warren mengatakan, bahwa unsur ekstrinsik karya sastra adalah keadaan subyektifitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkannya. Unsur ekstrinsik yang lain adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Ada juga unsur ekstrinsik yang berupa pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain dan sebagainya. (1991: 75-135).
Unsur-unsur pembangun prosa naratif dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Unsur Intrinsik
1) Tema
Jika kita membaca cerita fiksi misalnya novel, sering terasa bahwa pengarang tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi cerita saja, namun ada konsep sentral yang dikembangkan dalam cerita itu. Alasan pengarang hendak menyajikan cerita karena akan mengemukakan suatu gagasan, ide atau pilihan utama yang mendasari suatu cerita karya sastra itu yang biasa disebut tema. Dengan adanya tema membuat karya sastra lebih penting dari pada bacaan hiburan.
Mochtar Lubis menyatakan bahwa suatu cerita pendek harus mempunyai dasar (tema). Dasar inilah yang paling penting dari seluruh cerita, jika tidak mempunyai dasar tidak ada artinya sama sekali dan atau tidak berguna (1986: 18). Supaya mendapat gambaran yang jelas tentang pengertian tema, penulis akan mengutip pendapat para ahli. M. Saleh Saad menyatakan, “Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran, sesuatu yang menjadi persoalan bagi pengarang. Di dalamnya terbayang pandangan hidup atau cita-cita pengarang, bagaimana ia melihat persoalan itu.” (1989: 118). Pendapat ini sesuai dengan pendapat M.S. Hutagalung yang menyatakan, “Tema adalah persoalan yang berhasil menduduki tempat utama dalam cerita.” (1987: 77). Jakob Sumardjo dan Saini KM juga menyatakan, “Tema adalah ide sebuah cerita.” (1996: 56).
Adapun Suhariyanto menyatakan, “Tema disebut juga dasar cerita yakni pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra dari halaman akhir.” (1982: 28). Sedangkan Aminuddin menyatakan, “Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita hingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.” (1985: 25). Lebih lanjut Hartono dan Rahmanto menyatakan tema adalah merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (1986: 142).
Tema disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat “mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik, situasi tertentu, termasuk unsur intrinsik yang lain, karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka tema itu pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas dan abstrak. Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, hal itu haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita.
Tema menurut Stanton (1965: 21) yaitu tema sebagai “makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana”. Tema menurutnya kurang lebih bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose). Tema ada yang diambil dari khasanah kehidupan sehari-hari dan dimaksudkan pengarang untuk memberikan saksi sejarah, atau mungkin sebagai reaksi terhadap praktek kehidupan masyarakat yang tidak disetujui. Tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya.
Pengarang yang baik mempunyai tema yang universal dan mempunyai kesanggupan untuk menjabarkan tema tersebut menjadi sub-sub yang menyangkut kehidupan pribadi. Meskipun pengarang tersebut sanggup menulis detil-detil kehidupan yang kecil, namun yang penting bukan detil itu sanggup mengirimkan kilau yang indah dan memberi kesan bahwa kilau-kilau ini tidak terjadi oleh detil saja, namun oleh keseluruhan (Budi Darma, 1984: 68-69).
Dari beberapa pendapat di atas dapatlah disimpulkan bahwa tema adalah inti persoalan, pokok pembicaraan merupakan dasar penceritaan serta merupakan patokan dalam menggerakkan cerita dari awal sampai akhir.
Tema tidak perlu selalu berwujud moral atau ajaran moral, tema hanya bisa terwujud pengamatan pengarang terhadap kehidupan. Tema yang akan dijadikan dasar penciptaan karya sastra biasanya diambil dari hal-hal yang menarik bagi seorang pengarang yang bersumber pada pengalaman kehidupannya, misalnya kisah kehidupan manusia yang penuh konflik, kesengsaraan, cinta baik itu nama manusia maupun dirinya sendiri. Konflik inilah yang menimbulkan persoalan-persoalan yang menarik untuk diangkat dan dijadikan bahan cerita.
Pengarang yang baik mampu menemukan tema hakiki manusia. Ia mempunyai kekuatan mata seperti rontgen yang dapat menembus tubuh manusia dan seperti televisi kuat yang dapat menangkap gambar-gambar dari pemancar-pemancar yang jauh, serta menerima suara-suara masyarakat, dan lagi bagaikan memiliki indera tambahan yang mampu menangkap getaran masyarakat yang menderita (Budi Darma, 1984: 69). Mochtar Lubis menyatakan bahwa wilayah pengarang luas sekali, seolah-olah tanpa batas. Wilayah yang paling baik adalah menjelajah ke “ruang dalam” manusia sendiri, artinya kepada batin manusia yang memiliki berbagai permasalahan kehidupan (1980: 182).
Dalam cerita novel yang berhasil, tema justru tersamar dalam seluruh elemen. Pengarang menggunakan dialog-dialog dengan tokoh-tokoh, jalan pikiran, perasaan, kejadian-kejadian, dan setting cerita.
Tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi mana penggolongan itu dilakukan. Pengkategorian tema yang akan dibahas berikut ini ada tiga macam antara lain: 1) yang bersifat tradisional dan nontradisional, 2) dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley, dan c) dari tingkat keutamaannya.
Penggolongan tema tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya “itu-itu” saja, dalam arti telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang sebagai tema yang bersifat tradisional itu, misalnya:
(1) kebenaran dan keadilan mengalahkan kejahatan
(2) tindak kejahatan walau ditutup-tutupi akan terbongkar juga
(3) tindak kebenaran atau kejahatan masing-masing akan memetik hasilnya (Jawa: becik ketitik ala ketara).
(4) cinta yang sejati menuntut pengorbanan
(5) kawan sejati adalah kawan di masa duka
(6) setelah menderita, orang baru teringat Tuhan
(7) atau (seperti pepatah-pantun) berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, dan sebagainya.
Tema-tema tradisional, walau banyak variasinya boleh dikatakan, selalu ada kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan (Meredith & Fitzgerald, 1972: 66).
Tema nontradisional adalah tema yang tidak sesuai dengan harapan pembaca, karena bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.
b) Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley dalam Dictionary of World Literature (1962: 417), mengartikan tema sebagai subyek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan. Kelima tingkatan tema yang dimaksud adalah sebagai berikut:
(1) Tema tingkat fisik, manusia sebagai molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya efektifitas fisik daripada kejiwaan. Ia lebih menekankan mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan.
(2) Tema tingkat organik, manusia sebagai protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas, suatu aktifitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan kehidupan seksual yang bersifat menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan pengkhianatan suami istri, atau skandal-skandal seksual yang lain.
(3) Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi interaksi manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi obyek pencarian tema. Masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.
(4) Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitas-nya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individualitas itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. Masalah individualitas biasanya menunjukkan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian seseorang.
(5) Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan sang Pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. Karya sastra yang bersifat kontemplatif (ketafakuran) pun dapat dikategorikan ke dalam tema tingkat ini.
c) Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema utama atau tema pokok cerita, atau tema mayor artinya makna pokok cerita dasar atau gagasan dasar umum karya itu, Menentukan tema pokok atau tema utama sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktifitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai, di antara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan. Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam keseluruhan, cerita, bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna pokok cerita bersifat merangkum berbagai makna khusus, makna-makna tambahan yang terdapat pada karya itu.
Tema tambahan atau tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita dapat diidentifikasikan sebagai makna bagian atau makna tambahan. Makna tambahan itu bersifat mendukung dan atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita. Bahkan sebenarnya, adanya koherensi yang erat antar berbagai makna tambahan inilah yang akan memperjelas makna pokok cerita. Jadi, makna-makna tambahan itu, atau tema-tema minor itu, bersifat mempertegas eksistensi makna utama, atau tema mayor.
1) Tokoh
Yang dimaksud dengan tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau lakukan dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita.
Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu
a) Tokoh sentral protagonis. Tokoh sentral protagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai pisitif.
b) Tokoh sentral antagonis. Tokoh sentral antagonis adalah tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif.
Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu
a) Tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercataan tokoh sentral (protagonis atau antagonis).
b) Tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa cerita.
c) Tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja.
Berdasarkan cara menampikan perwatakannya, tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a) Tokoh datar/sederhana/pipih. Yaitu tokoh yang diungkapkan atau disoroti dari satu segi watak saja. Tokoh ini bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, atau bahkan tidak berubah sama sekali (misalnya tokoh kartun, kancil, film animasi).
b) Tokoh bulat/komplek/bundar. Yaitu tokoh yang seluruh segi wataknya diungkapkan. Tokoh ini sangat dinamis, banyak mengalami perubahan watak.
2) Penokohan
Yang dimaksud penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh, yaitu
a) Metode analitis/langsung/diskursif. Yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung.
b) Metode dramatik/taklangsung/ragaan. Yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh.
c) Metode kontekstual. Yaitu penyajian watak tokoh melalui gaya bahasa yang dipakai pengarang.
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM., ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu
a) Melalui apa yang dibuatnya, tindakan-tindakannya, terutama abagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b) Melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus.
c) Melalui penggambaran fisik tokoh.
d) Melalui pikiran-pikirannya
e) Melalui penerangan langsung.
Tokoh dan latar memang merupakan dua unsur cerita rekaan yang erat berhubungan dan saling mendukung.
3) Alur
Alur adalah urutaan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Urutan peristiwa dapat tersusun berdasarkan tiga hal, yaitu
a) Berdasarkan urutan waktu terjadinya. Alur dengan susunan peristiwa berdasarkan kronologis kejadian disebut alur linear
b) Berdasarkan hubungan kausalnya/sebab akibat. Alur berdasarkan hubungan sebab-akibat disebut alur kausal.
c) Berdasarkan tema cerita. Alur berdasarkan tema cerita disebut alur tematik.
Struktur Alur
Setiap karya sastra tentu saja mempunyai kekhususan rangkaian ceritanya. Namun demikian, ada beberapa unsur yang ditemukan pada hampir semua cerita. Unsur-unsur tersebut merupakan pola umum alur cerita. Pola umum alur cerita adalah
a) Bagian awal
1. paparan (exposition)
2. rangkasangan (inciting moment)
3. gawatan (rising action)
b) Bagian tengah
4. tikaian (conflict)
5. rumitan (complication)
6. klimaks
c) Bagian akhir
7. leraian (falling action)
8. selesaian (denouement)
Bagian Awal Alur
Jika cerita diawali dengan peristiwa pertama dalam urutan waktu terjadinya, dikatakan bahwa cerita itu disusun ab ovo. Sedangkan jika yang mengawali cerita bukan peristiwa pertama dalam urutan waktu kejadian dikatakan bahwa cerita itu dudun in medias res.
Penyampaian informasi pada pembaca disebut paparan atau eksposisi. Jika urutan konologis kejadian yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka dalam cerita tersebut terdapat alih balik/sorot balik/flash back.
Sorot balik biasanya digunakan untuk menambah tegangan/gawatan, yaitu ketidakpastian yang berkepanjangan dan menjadi-jadi. Dalam membuat tegangan, penulis sering menciptakan regangan, yaitu proses menambah ketegangan emosional, sering pula menciptakan susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan. Sarana lain yang dapat digunakan untuk menciptakan tegangan adalah padahan (foreshadowing), yaitu penggambaran peristiwa yang akan terjadi.
Bagian Tengah Alur
Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan. Perkembangan dari gejala mula tikaian menuju ke klimaks cerita disebut rumitan. Rumitan mempersiapkan pembaca untuk menerima seluruh dampak dari klimaks. Klimaks adalah puncak konflik antartokoh cerita.
Bagian Akhir Alur
Bagian sesudah klimaks adalah leraian, yaitu peristiwa yang menunjukkan perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Selesaian adalah bagian akhir atau penutup cerita.
Dalam membangun peristiwa-peristiwa cerita, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan agar alur menjadi dinamis. Faktor-faktor penting tersebut adalah
a) faktor kebolehjadian (pausibility). Yaitu peristiwa-peristiwa cerita sebaiknya meyakinkan, tidak selalu realistik tetapi masuk akal. Penyelesaian masalah pada akhir cerita sesungguhnya sudah terkandung atau terbayang di dalam awal cerita dan terbayang pada saat titik klimaks.
b) Faktor kejutan. Yaitu peristiwa-peristiwa sebaiknya tidak dapat secara langsung ditebak/dikenali oleh pembaca.
c) Faktor kebetulan. Yaitu peristiwa-peristiwa tidak diduga terjadi, secara kebetulan terjadi.
Kombinasi atau variasi ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa cerita menjadi dinamis.
Selain itu ada hal yang harus dihindari dalam alur, yaitu lanturan atau digresi. Lanturan atau digresi adalah peristiwa atau episode yang tidak berhubungan dengan inti cerita atau menyimpang dari pokok persoalan yang sedang dihadapi dalam cerita.
Macam Alur
Pada umumnya orang membedakan alur menjadi dua, yaitu alur maju dan alur mundur. Yang dimaksud alur maju adalah rangkaian peristiwa yang urutannya sesuai dengan urutan waktu kejadian. Sedangkan yang dimaksud alur mundur adalah rangkaian peristiwa yang susunannya tidak sesuai dengan urutan waktu kejadian.
Pembagian seperti itu sebenarnya hanyalah salah satu pembagian jenis alur yaitu pembagian alur berdasarkan urutan waktu. Secara lebih lengkap dapat dikatakan bahwa ada tiga macam alur, yaitu
a) alur berdasarkan urutan waktu
b) alur berdasarkan urutan sebab-akibat
c) alur berdasarkan tema. Dalam cerita yang beralur tema setiap peristiwa seolah-olah berdiri sendiri. Kalau salah satu episode dihilangkan cerita tersebut masih dapat dipahami.
Dalam hubungannya dengan alur, ada beberapa istilah lain yang perlu dipahami. Pertama, alur bawahan. Alur bawahan adalah alur cerita yang ada di samping alur cerita utama. Kedua, alur linear. Alur linear adalah rangkaian peristiwa dalam cerita yang susul-menyusul secara temporal. Ketiga, alur balik. Alur balik sama dengan sorot balik atau flash back. Keempat, alur datar. Alur datar adalah alur yang tidak dapat dirasakan adanya perkembangan cerita dari gawatan, klimaks sampai selesaian. Kelima, alur menanjak. Alur menanjak adalah alur yang jalinan peristiwanya semakin lama semakin menanjak atau rumit.
4) Latar (Setting)
Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar meliputi penggambaran letak geografis (termasuk topografi, pemandangan, perlengkapan, ruang), pekerjaan atau kesibukan tokoh, waktu berlakunya kejadian, musim, lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh.
Macam Latar
Latar dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Latar fisik/material. Latar fisik adalah tempat dalam ujud fisiknya (dapat dipahami melalui panca indra).
Latar fisik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
a. Latar netral, yaitu latar fisik yang tidak mementingkan kekhususan waktu dan tempat.
b. Latar spiritual, yaitu latar fisik yang menimbulkan dugaan atau asosiasi pemikiran tertentu.
2. Latar sosial. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok sosial dan sikap, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain.
Fungsi Latar
Ada beberapa fungsi latar, antara lain
1. memberikan informasi situasi sebagaimana adanya
2. memproyeksikan keadaan batin tokoh
3. mencitkana suasana tertentu
4. menciptakan kontras
5) Sudut Pandang (Point Of View)
Bennison Gray membedakan pencerita menjadi pencerita orang pertama dan pencerita orang ketiga.
1. Pencerita orang pertama (akuan).
Yang dimaksud sudut pandang orang pertama adalah cara bercerita di mana tokoh pencerita terlibat langsung mengalami peristiwa-peristiwa cerita. Ini disebut juga gaya penceritaan akuan.Gaya penceritaan akuan dibedakan menjadi dua, yaitu
- Pencerita akuan sertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencnerita menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
- Pencerita akuan taksertaan, yaitu pencerita akuan di mana pencerita tidak terlibat menjadi tokoh sentral dalam cerita tersebut.
2. Pencerita orang ketiga (diaan).
Yang dimaksud sudut pandang orang ketiga adalah sudut pandang bercerita di mana tokoh pencnerita tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita. Sudut pandang orang ketiga ini disebut juga gaya penceritaan diaan. Gaya pencerita diaan dibedakan menjadi dua, yaitu
- Pencerita diaan serba tahu, yaitu pencerita diaan yang tahu segala sesuatu tentang semua tokoh dan peristiwa dalam cerita. Tokoh ini bebas bercerita dan bahkan memberi komentar dan penilaian terhadap tokoh cerita.
- Pencerita diaan terbatas, yaitu pencerita diaan yang membatasi diri dengan memaparkan atau melukiskan lakuan dramatik yang diamatinya. Jadi seolah-olah dia hanya melaporkan apa yang dilihatnya saja.
Kadang-kadang orang sulit membedakan antara pengarang dengan tokoh pencerita. Pada prinsipnya pengarang berbeda dengan tokoh pencerita. Tokoh pencerita merupakan individu ciptaan pengarang yang mengemban misi membawakan cerita. Ia bukanlah pengarang itu sendiri.
Jakob Sumardjo membagi point of view menjadi empat macam, yaitu
a) Sudut penglihatan yang berkuasa (omniscient point of view). Pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya.
b) Sudut penglihatan obyektif (objective point of view). Pengarang serba tahu tetapi tidak memberi komentar apapun. Pembaca hanya disuguhi pandangan mata, apa yang seolah dilihat oleh pengarang.
c) Point of view orang pertama. Pengarang sebagai pelaku cerita.
d) Point of view peninjau. Pengarang memilih salah satu tokohnya untuk bercerita. Seluruh kejadian kita ikuti bersama tokoh ini.
Menurut Harry Shaw, sudut pandang dalam kesusastraan mencakup
a) Sudut pandang fisik. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam mendekati materi cerita.
b) Sudut pandang mental. Yaitu sudut pandang yang berhubungan dengan perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah atau peristiwa yang diceritakannya.
c) Sudut pandang pribadi. Adalah sudut pandang yang menyangkut hubungan atau keterlibatan pribadi pengarang dalam pokok masalah yang diceritakan. Sudut pandang pribadi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengarang menggunakan sudut pandang tokoh sentral, pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, dan pengarang menggunakan sudut pandang impersonal (di luar cerita).
Menurut Cleanth Brooks, fokus pengisahan berbeda dengan sudut pandang. Fokus pengisahan merupakan istilah untuk pencerita, sedangkan sudut pandang merupakan istilah untuk pengarang. Tokoh yang menjadi fokus pengisahan merupakan tokoh utama cerita tersebut. Fokus pengisahan ada empat, yaitu
a) Tokoh utama menyampaikan kisah dirinya.
b) Tokoh bawahan menyampaikan kisah tokoh utama.
c) Pengarang pengamat menyampaikan kisah dengan sorotan terutama kepada tokoh utama.
d) Pengarang serba tahu.
6) Gaya Bahasa
Bahasa dalam cerpen memilki peran ganda, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai penyampai gagasan pengarang. Namun juga sebagai penyampai perasaannya. Beberapa cara yang ditempuh oleh pengarang dalam memberdayakan bahasa cerpen ialah dengan menggunakan perbandingan, menghidupkan benda mati, melukiskan sesuatu dengan tidak sewajarnya, dan sebagainya. Itulah sebabnya, terkadang dalam karya sastra sering dijumpai kalimat-kalimat khas. Nada pada karya sastra merupakan ekspresi jiwa.
7) Amanat
Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada para pembaca melalui karyanya, yang akan disimpan rapi atau disembunyikan pengarang dalam keseluruhan cerita.
b. Unsur Ekstrinsik
Selanjutnya dalam uraian ini penulis akan menguraikan salah satu unsur ekstrinsik saja yaitu berupa faktor sejarah. Obyek karya sastra adalah realitas, apabila realitas itu berupa peristiwa sejarah maka karya sastra dapat:
1) Mencoba menterjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajinatif dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarang.
2) Karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapan mengenai suatu peristiwa sejarah.
3) Seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan penciptaan kembali sebuah peristiwa sejarah sesuai dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang.
Karya sastra yang menyajikan peristiwa sejarah sebagai bahan, dapat berupa puisi atau prosa. Dalam peristilahan ilmu sejarah, peristiwa sejarah sering dicakup dalam istilah fakta sejarah. Dalam hal ini fakta sejarah mempunyai arti kembar, yaitu: “a thing done, an action, deed, event” (artinya tindakan, aksi, perbuatan, peristiwa, pertandingan, perlombaan). Termasuk di sini perbuatan-perbuatan tunggal seperti baris-berbaris, penarikan bendera, pembacaan naskah Proklamasi, yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945, atau nama umum bagi peristiwa sejarah itu, yaitu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, fakta sejarah dapat berupa “a particular truth” (kebenaran fakta) misalnya menurunnya kemakmuran Indonesia pada akhir abad ke-19 fakta yang merupakan generalisasi dari sejumlah sejarah fakta-fakta khusus yang menunjukkan gejala umum.
Peristiwa sejarah sebagai bahan baku diolah secara berbeda oleh tulisan sejarah dan oleh karya sastra. Dalam tulisan sejarah, bahan baku ditulis sejarah itu telah diproses melalui prosedur tertentu. Dari sumber-sumber sejarah sejarawan harus melakukan kritik, intrepretasi, dan sintesa sampai ia sanggup menyuguhkan rekonstruksi sejarah. Bagi sejarawan, fakta sejarah merupakan apa yang disebut oleh William James (dalam Psikologi) seperti: “irreducable and stubborn facts”. Bahkan sejarawan dituntut untuk hanya mengemukakan “apa yang sesungguhnya terjadi”. Sejarawan harus bertolak dan selalu kembali kepada fakta dalam usahanya untuk merangkai peristiwa sejarah menjadi kesatuan yang utuh. Dengan bahan-bahan itu sejarawan mencari system of interaction yaitu hubungan antara fakta-fakta secara memadu.
Karya sastra mempunyai pendekatan lain. Peristiwa sejarah dapat menjadi pangkal tolak bagi sebuah karya sastra, menjaadi bahan baku, tetapi tidak perlu dipertanggungjawabkan terlebih dahulu. Peristiwa sejarah, situasi, kejadian, perbuatan, cukup diambil dari khasanah accepted bagi hal-hal dari masa lampau atau dari commonsense (pikiran sehat) bagi peristiwa-peristiwa kontemporer (Kuntowijoyo, 1987: 127-130).
B. Pembelajaran Apresiasi Prosa
Pembelajaran prosa yang ditawarkan antara lain sebagai berikut: (1) Membaca cerita pendek atau novel dan mendiskusikan cara penyampaian pesan atau amanat yang terdapat dalam karya sastra tersebut. (2) Membahas konflik yang terdapat dalam cerita pendek atau novel/ roman.
Kegiatan awal yang dilakukan guru adalah mempersiapkan cerpen atau novel yang akan digunakan sebagai bahan pembelajaran apresiasi prosa. Pada kegiatan tersebut guru menandai bagian mana yang akan didiskusikan dengan siswanya, apakah alur, tema, tokoh, sudut pandang, atau amanat dalam prosa tersebut. Selain itu guru harus memperhitungkan waktu yang tersedia dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Hal lain yang penting adalah adanya gagasan pokok yang akan disampaikan kepada siswa yang merupakan acuan ke arah pembentukan moral mereka. Gagasan pokok tersebut ibarat niat guru dalam membelajarkan siswa di dalam pembentukan moral, pembentukan kepribadian siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran sastra di dalam kurikulum.
Selain persiapan guru, persiapan siswa juga diperlukan. Mengingat membaca cerpen memerlukan waktu yang cukup lama, diperlukan dulu membaca di luar jam tatap muka di kelas (misalnya dengan tugas membaca di rumah). Pada waktu membaca, siswa ditugasi memberi tanda pada bagian-bagian yang perlu dipertanyakan, atau memberi tanda bagian yang menarik perhatiannya di dalam cerpen yang dibacanya.
Setelah guru dan siswa mempunyai kesiapan untuk pembelajaran cerpen, di kelas berlangsung kegiatan diskusi tentang cerpen tersebut. Hal ini tentunya guru sudah mempersiapkan rambu-rambu dalam kegiatan diskusi tersebut. Rambu-rambu tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Peristiwa cerita, dapat dimulai dengan cara mengajukan pertanyaan berikut:
a. Peristiwa apa yang dikemukakan pengarang untuk mengawali ceritanya?
b. Apa peristiwa selanjutnya?
c. Adakah hubungan antara peristiwa-peristiwa tersebut?
2. Tokoh dan penokohan, diskusi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Melihat para tokoh, siapa tokoh utama, bawahan atau tambahan?
b. Mengapa disebut sebagai tokoh utama atau tambahan?
c. Dari sudut fungsiya, siapakah yang disebut sebagai tokoh protagonist dan antagonis?
d. Mengapa disebut tokoh protagonis dan antagonis?
e. Jika dikaitkan dengan kehidupan nyata, adakah tokoh seperti itu?
3. Latar (waktu, tempat, dan suasana), dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Di mana peristiwa itu terjadi?
b. Kapan peristiwa itu terjadi?
c. Berapa lama peristiwa itu berlangsung?
d. Pada suasana apa peristiwa itu terjadi?
4. Sudut pandang, diskusi dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. Dari sudut pandang siapa peristiwa itu diceritakan pengarang?
b. Bukti-bukti apa yang memperlihatkan sudut pandang tersebut?
5. Tema, kegiatan diskusi dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Apa tema cerita?
b. Di bagian mana tersirat tentang tema?
c. Apa yang menjadi bukti bahwa tema tersurat dalam cerita?
6. Amanat, dapat didiskusikan sebagai berikut:
a. Apakah amanat yang ada dalam cerita?
b. Apakah amanat tersebut secara tersurat atau tersirat?
c. Apakah amanat tersebut dapat diterima dalam kehidupan sehari-hari?
7. Kesan
Apa kesan siswa tentang cerita yang didiskusikan merupakan pertanyaan untuk membangkitkan perasaan siswa terhadap isi cerita. Kelancaran diskusi tentang kesan yang dipelajari sangat tergantung pada aktivitas yang dilancarkan guru dalam menggiring pertanyaan-pertanyaan yang membangkitkan apresiasi siswa. Pertanyaan yang diajukan tidak hanya pertanyaan yang bersifat kognitif, tetapi juga pertanyaan yang bersifat afektif dan psikomotor.
B. Ekspresi Prosa
1. Menulis Prosa
Menulis buku harian merupakan upaya pembiasaan agar kita memiliki kompetensi keterampilan menulis. Awalnya mungkin kita hanya menulis catatan penting, seperti agenda kerja atau agenda kegiatan sehari-hari. Hal itu merupakan langkah awal yang baik. Kegiatan itu dapat kita lanjutkan dengan mencatat peristiwa penting, misalnya gempa bumi, tabrak lari, atau pencurian. Peristiwa tersebut dapat kita kembangkan dengan melibatkan imajinasi kita sehingga tokohnya diberi karakter tertentu, peristiwanya dijalin lebih memikat, dan latarnya dirinci secara detil. Apabila kegiatan ini masih dianggap sulit, kita dapat melakukan kegiatan menulis secara sederhana, yaitu menarasikan pengalaman yang telah kita lakukan dari bangun tidur hingga ketika akan tidur kembali.
Beberapa kegiatan yang telah kita lakukan dalam menulis puisi dapat kita manfaatkan juga untuk kepentingan menulis prosa, khususnya cerpen. Kegiatan yang dimaksud adalah mendeskripsikan objek konkret secara emotif dan menulis cerpen berdasarkan tokoh dalam sejarah, mitologi, atau karya sastra lainnya.
Para sastrawan acap kali menggunakan fakta cerita dalam sejarah atau mitologi sebagai teks dasar karyanya. Misalnya novel Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangun Wijaya memunculkan tokoh-tokoh nyata ketika zaman revolusi kemerdekaan, seperti Amir Syarifudin. Seno Gumira Ajidarma memunculkan tokoh-tokoh wayang dalam novel Kitab Omong Kosong, atau Hermawan Aksan memunculkan kembali tokoh Diah Pitaloka, Puteri Sunda yang menjadi martir dalam perang yang tidak seimbang antara Kerajaan Pajajaran dan Majapahit, yang dikenal dengan Perang Bubat. Mari kita perhatikan salah satu penggalan cerpen karya Putu Wijaya berjudul “Bisma”. Resi Bisma yang dalam mitologi pewayangan dihormati, disegani, dan dijunjung tinggi oleh pihak Kurawa dan Pandawa karena sebagai sesepuh Kerajaan Astina, dalam novel tersebut dimunculkan secara ganjil dan lucu.
Bisma bangkit dari tanah, udara dan air, yang melebur jasadnya setelah jutaan tahun yang lalu pralaya dalam perang Bharatayuda. Tubuhnya yang tinggi besar dan sedikit bungkuk karena tua tampak agung ditancap oleh ribuan panah. Mukanya yang dihiasi brewok dan cambang putih sudah kisut, akan tetapi masih tetap memancarkan sinar yang jernih. Resi yang telah memikul pengorbanan yang dahsyat itu tiba-tiba muncul di Pasar Senen.
Namun, satu hal yang perlu kita cermati, Hal yang dilakukan sastrawan bukanlah untuk menjiplak karya yang sudah ada, melainkan untuk mereaksi, menanggapi, atau melakukan dialog dengan karya-karya sebelumnya. Bahkan, cara ini menarik minat para pakar sastra sehingga memunculkan kajian sastra dengan menggunakan pendekatan resepsi sastra dan intertekstualitas.
Menulis prosa pun dapat kita lakukan dengan cara memperhatikan konvensi yang terdapat dalam sebuah karya prosa. Jika cara ini yang kita pilih, maka kita harus mempehatikan hal-hal berikut:
1) Tentukanlah tema cerpen berdasarkan persoalan yang Anda kuasai, kemudian konkretkan tema tersebut dengan judul yang menarik dan sesingkat mungkin, misalnya tidak lebih dari lima kata.
2) Sadarilah bahwa cerpen yang konvensional selain menyertakan judul dan pengarangnya harus juga dilengkapi aspek formal cerpen lainnya, yaitu adanya narasi dan dialog tokoh.
3) Kembangkanlah tema ke dalam unsur-unsur cerpen, seperti fakta cerita (alur, tokoh, dan latar), sarana cerita (sudut pandang, penceritaan, dan gaya bahasa).
4) Padukanlah unsur-unsur cerpen dengan memperhatikan kaidah alur, yaitu peristiwa disusun secara logis dan kronologis, menghadirkan suspense ‘rasa ingin tahu’ membuat surprise ‘kejutan’ dan menjalin seluruh unsur cerpen sehingga tampak utuh.
2. Membacakan Prosa dan Paduan Baca Prosa
Ekspresi prosa biasanya dilakukan dengan membacakan cerpen atau dongeng, baik oleh sendiri maupun oleh beberapa orang yang disebut dengan paduan baca cerpen. Selain itu, ekspresi prosa dapat dilakukan dengan mendramatisasi cerpen.
Dalam membacakan cerpen, kita dapat juga mengikuti teknik seperti dalam membacakan puisi. Pertama, cerpen kita baca dalam hati. Langkah pertama ini bertujuan agar kita dapat mengakrabi cerpen sehingga maknanya dapat kita selami. Langkah kedua adalah dengan membacakan cerpen secara nyaring. Kita upayakan agar setiap kata dalam kalimat, setiap kalimat dalam paragraf, dan setiap paragraf dalam cerpen tersebut dapat kita hidupkan dengan alat artikulasi kita. Dalam langkah kedua ini kita dapat mencoba untuk mengucapkan narasi dan dialog-dialog cerpen sesuai dengan karakter masingmasing. Pembaca pun dapat berlanjut ke langkah yang ketiga, yaitu memperhatikan kapan intonasi ditekan, tempo diperlambat atau dipercepat, volume suara diperkecil atau diperbesar, dan nada direndahkan atau ditinggikan. Agar pembacaan tidak berubah-ubah, pembaca dapat menandai bagian-bagian yang mendapat penekanan tersebut dengan menggunakan alat tulis, misalnya tinta warna dan penggaris. Dengan demikian, pembacaan cerpen dapat diulang-ulang hingga sampai pada langkah yang keempat, yaitu pembacaan cerpen yang estetis. Namun, tentu saja untuk sampai pada pembacaan cerpen yang estetis diperlukan latihan berulang-ulang. Oleh sebab itu, membaca kritis harus dilakukan, misalnya kita tidak perlu ragu untuk meralat atau merevisi bagian-bagian yang sudah kita tandai.
Hal serupa dengan langkah membacakan cerpen dapat juga kita lakukan dalam paduan baca cerpen, namun dengan pembagian tugas yang jelas. Misalnya, siapa yang akan menjadi narator dan siapa yang akan menjadi tokoh-tokoh dalam cerpen.
3. Mendongeng dan Mendramatisasi Prosa
Mendongeng atau bercerita dapat menjadi kegiatan ekspresi prosa yang mengasyikkan sebab juru dongeng biasanya bertutur tanpa teks sehingga ia pun dapat memanfaatkan raut muka, gerak-gerik, dan anggota tubuhnya untuk memperkuat karakter tokoh-tokoh dongeng. Bahan dongeng dapat berupa cerita rakyat, seperti mite, legenda, fabel, dan cerita jenaka.
Apabila juru dongeng atau pendongeng di daerah nusantara bercerita dengan bahasa daerah dan khazanah daerah masing masing, maka kita dapat memanfaatkan cerita rakyat se-Nusantara yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia sehingga sastra-sastra daerah itu dapat dikenal lebih luas dalam skala nasional.
Apabila mendongeng dilakukan secara perseorangan, dramatisasi prosa dapat dilakukan secara berkelompok. Seperti halnya dramatisasi puisi, dramatisasi prosa pun harus mengikuti kaidah-kaidah yang terdapat dalam drama.
Misalnya, apabila kita akan mendramatisasi cerpen atau cerita rakyat, kedua karya itu harus dialihkan terlebih dahulu ke dalam naskah drama. Misalnya, narasi cerpen diubah menjadi petunjuk pemanggungan sehingga yang dialog tokoh-tokohnya tampak menonjol. Berikut ini akan dikutip sebuah penggalan teks cerpen, kemudian dialihkan ke dalam teks drama.
Penjaga kuburan mendekatinya dan bertanya, ”Kenapa Nenek menangis ?” Diangkatnya kepalanya pelan-pelan, dipandangnya penjaga kuburan itu agak lama, dan suaranya yang gemetar dan tua itu berkata, “Kalaulah cucuku dapat bertanya seperti engkau itu.” Dia berhenti sebentar, dihapusnya air matanya. “Engkau sendiri bekerja di sini ?” tanyanya kemudian.
“Ya.”
“Sepantasnya engkau masuk surga, Nak”
Kemudian penjaga kuburan itu duduk di semen kuburan itu dan Nenek itu berkata, “Kuburan-kuburan disini bersih. Kalau saya nanti dikuburkan di sini, kau bersihkanlah kuburanku balk-baik, Nak.”
“Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup.” Kata penjaga kuburan itu.
“Benar, saya masih akan lama hidup ?”
“Benar Nek.”
(Motinggo Boesje dalam Hoerip, 1979c: 136)
PANGGUNG MENYERUPAI TEMPAT PERKUBURAN. TAMPAK DI SEBUAH
NISAN SEORANG NENEK SEDANG DUDUK, MENUNDUK, DAN
MERENUNGI BATU NISAN ITU. PENJAGA KUBURAN MENDEKATI NENEK
PENJAGA KUBURAN : Kenapa Nenek menangis ?
NENEK : (memandang penjaga kuburan, suaranya gemetar)
Kalaula cucuku dapat bertanya seperti engkau itu.
(menghapus air mata)
Engkau sendiri bekerja di sini?
PENJAGA KUBURAN : Ya.
NENEK : Sepantasnya engkau masuk surga, Nak!
(penjaga kuburan duduk di semen kuburan dekat Nenek)
Kuburan-kuburan di sini bersih. Kalau saya nanti dikuburkan di sini,
kau bersihkanlah kuburanku baik-baik, Nak.
PENJAGA KUBURAN : Nenek begini segar. Nenek masih lama lagi akan hidup.
NENEK : Benar, saya masih akan lama hidup ?
PENJAGA KUBURAN : Benar, Nek.