Sinopsis Novel Harimau Harimau
Judul : Harimau- Harimau
Pengarang : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan Ke : 5
Tahun Terbit : 2001(terbit pertama kali tahun 1975)
Tebal : 214 halaman
Telah seminggu Haji Rakhmad (Pak Haji), Wak Katok, Sutan, Talib, Sanip, Buyung, dan Pak Balam berada di hutan mengumpulkan damar, tidak jauh dari pondok Wak Hitam. Pak Haji yang tertua di antara mereka telah berumur 60 tahun. Meskipun umurnya telah tua seperti itu tetapi badannya masih tetap sehat dan kuat. Wak Katok yang berumur 50 tahun memiliki perawakan yang kukuh dan keras, senang berpakaian serba hitam dan masih terlihat seperti berumur 40 tahunan.
Ia juga merupakan ahli pencak dan dukun hebat di desa. Yang muda diantara mereka, Sutan berumur 22 tahun, telah berkeluarga. Talib yang berumur 27 tahun telah beristri dan beranak tiga. Sanip berumur 25 tahun juga telah beristri dan mempunyai empat anak. Buyung adalah yang termuda berumur 19 tahun.
Semua anak – anak muda itu adalah murid pencak Wak Katok. Mereka juga belajar ilmu sihir dan gaib padanya. Dan anggota rombongan yang ketujuh dan terakhir ialah Pak Bayam yang sebaya dengan Wak Katok. Orangnya pendiam dan kurus namun ia masih kuat untuk bekerja. Mereka bertujuh paling disenangi dan dihormati oleh orang – orang kampung karena mereka dikenal sebagai orang – orang sopan, mau bergaul, mau bergotong royong, dan taat dalam agama. Selain orang – orang terpandang, mereka juga sudah berkeluarga semua kecuali Buyung.
Wak Katok mempunyai sebuah senapan yang paling ampuh di dalam kelompok tersebut. Senapan ini tidak jarang dipinjamkan kepada Buyung karena tahu bahwa ia sangat senang dan bahkan pandai menggunakan senapan. Karena mempunyai senapan itu, mereka sering berburu rusa dan babi. Babi ini sering masuk ke rumah Wak Hitam. Karena itu pula terjadi perkenalan dengan Wak Hitam, bahkan mereka sering memgimap di pondok Wak Hitam ini. Wak Hitam adalah seorang laki – laki yang berusia 70 tahun. Orangnya kurus, berkulit hitam, menyukai celana dan baju hitam. Ia senang tinggal berbulan – bulan di hutan atau di ladangnya bersama Siti Rubiyah, istri keempatnya yang cantik dan masih muda belia. Wak Hitam pandai menggunakan sihir dan memiliki ilmu gaib. Menurut Wak Katok dalam hal ilmu gaib, Wak Hitam adalah gurunya. Wak Hitam gemar mencari perawan muda untuk penyegar dirinya. Bila ia sakit dimintanya pada istrinya untuk mendekap pada tubuhnya, agar darah muda istrinya mengalir ke tubuhnya dan ia akan lekas sembuh kembali. Orang – orang percaya bahwa Wak Hitam senang tinggal di hutan karena ia memelihara jin, setan, iblis, dan harimau jadi – jadian.
Ada pula yang mengatakan bahwa Wak Hitam mempunyai anak buah bekas pemberontak yang menjadi perampok dan penyamim yamg tinggal di hutan. Di samping itu ada pula yang mengatakan bahwa Wak Hitam mempunyai tambang yang dirahasiakannya di dekat ladangnya. Mereka bertujuh sampai di pondok Wak Hitam sebelum malam tiba. Dengan gembira mereka menyantap masakan Rubiyah karena selama di hutan mereka tidak menikmati masakan yang enak. Merekapun tertarik akan keindahan tubuh Rubiyah. Buyung si rombongan anggota termuda dan satu – satunya yang masih bujangan, tergila – gila akan kecantikan Rubiyah. Dalam hatinya, ia membandingkan kelebihan Rubiyah dan Zaitun tunangannya di kampung. Sanip, Talib, dan Wak Katok sering tidak dapat menahan diri jika duduk berdekatan dengan Siti Rubiyah.
Pada suatu hari mereka melihat hal – hal yang aneh ketika Wak Hitam sakit. Banyak orang yang berpakaian serba hitam datang ke pondok dan menyerahkan bungkusan rahasia kepada Wak Hitam. Mereka juga menjumpai seorang tukang cerita dan juru ramal di pondok tersebut. Berbagai ramalan disampaikan peramal itu tentang jalan hidup Buyung, Sutan, Talib, dan Sanip.
Pada suatu hari Wak Katok berkesempatan mengintai Rubiyah mandi di sungai. Hampir tak tertahankan berahi Wak Katok menyaksikan Rubiyah berkecipung mandi tanpa busana. Dalam perjalanan pulang ke pondok, dengan dalih memberi manik – manik ditariknya Rubiyah masuk ke dalam semak belukar
Pada kesempatan lain, Buyung pun mengintai Rubiyah mandi di sungai. Hampir tak terkendalikan gejolak batinnya menyaksikan tubuh Rubiyah yang menawan. Diberanikannya menghampiri Rubiyah yang sedang mandi. Akhirnya terjadilah hubungan intim antara keduanya. Rubiyah pun menceritakan kalau dirinya juga jatuh ke tangan Wak Hitam dan penderitaan yang ditanggungnya. Buyung merasa telah jatuh cinta dan merasa wajib melindungi menyelamatkan Rubiyah dari tangan Wak Hitam. Hati dan perasaan keduanya terpadu dan membeku.
Terjadilah perbuatan terlarang yang tak dapat mereka kendalikan lagi. Mereka melalap kepuasan masing – masing. Setelah Buyung kembali ke tempat rombongan bermalam di hutan ia merasa bimbang dan menyesal telah berbuat dosa. Ia ingin membebaskan Rubiyah dengan menjadikannya sebagai istri tapi ia masih tetap mencintai Zaitun.
Setelah bermalam, paginya mereka pergi berburu ke tempat kumpulan rusa yang sekaligus juga kumpulan harimau. Setelah menunggu beberapa saat, Buyung berhasil membidik seekor rusa jantan. Mereka pun langsung ke tempat bermalam dan menguliti rusa tersebut di situ. Tapi tiba – tiba, mereka semua mendengar auman seekor harimau. Dengan cepat mereka memasak rusa tersebut dan langsung pergi. Setelah perjalanan setengah hari dan tak lagi mendengar suara harimau, mereka beristirahat untuk makan dan setelah selesai semuanya mereka langsung saja melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat bermalam. Lalu mereka membuat sebuah pondok dan api unggun. Ketika Pak Balam buang hajat, harimau menerkam dan membawanya masuk ke dalam hutan.
Setelah mereka sadar, dengan cepat Wak Katok menembak ke arah harimau dan harimau tersebut akhirnya lari dan meninggalkan Pak Balam. Tubuhnya penuh luka, goresan, dan darah. Setelah sadar Pak Balam lalu berkata bahwa ia telah memiliki firasat sebelumnya. Lalu ia menceritakan mimpi – mimpi buruknya ketika masih di kampung dan di rumah Wak Hitam. Lalu Pak Balam meminta mereka semua untuk bertobat dan mengakui semua dosa – dosanya. Tapi tak ada satu orangpun yang mau mengakui dosa – dosanya.
Setelah sembahyang, mengobati luka Pak Balam dan membuat usungan mereka lantas pergi. Keranjang damar mereka tinggalkan. Selama perjalanan, panas Pak Balam tak juga reda, mereka ingin cepat – cepat sampai kampung agar Pak Balam dapat segera diobati. Talib berada di barisan paling belakang, ketika ia hendak membuang air seni harimau telah membawanya lari.
Mereka mengikuti jejak harimau tersebut, dan ia di tempat terbuka di dalam hutan mereka menemukan Talib yang sudah berlumuran darah. Karena kaget akan serangan rombongan itu, harimau lantas pergi. Semua ikut membantu menyembuhkan Talib dengan kekuatan lima orang itu walaupun akhirnya ia sendiri meninggal. Semua ikut membantu kecuali Wak Katok karena ia adalah seorang pemimpin.
Esok paginya Talib dikuburkan, Pak Haji dan sutan menjaga pondok serta Pak Balam. Sedangkan yang lain pergi memburu harimau. Sutan tak tahan mendengar igauan Pak Balam yang meminta untuk mengaku dosa. Ia pun pergi meninggalkan Pak Haji dan Pak Balam yang sedang sakit dan pergi menyusul kawan – kawan yang lainnya.
Sedangkan di tempat lain, di dalam hutan Wak Katok dan Pasukannya terus mengikuti jejak harimau. Pada saat mereka merasa sudah dekat dengan sang harimau, mereka menyusun rencana sedemikian rupa. Mereka lantas bersembunyi di belakang pohon yang besar dan menunggu sang harimau tiba. Malam pun tiba, saat itu juga mereka mendengar jeritan manusia, dan auman harimau seecara bersamaan.
Tapi mereka tak hendak untuk menolongnya, dan memutuskan kembali ke tempat mereka bermalam. Ketika sampai di tempat bermalam, Pak Haji menanyakan keberadaan Sutan. Mereka menggeleng, dan menceritakan apa yang terjadi pada dua tempat yang berbeda, mereka pun menyimpulkan bahwa yang menjadi korban harimau tersebut ialah Sutan. Pagi – pagi ketika mereka bangun, mereka terkejut karena Pak Balam akhirnya meninggalkan dunia. Setelah selesai mengubur Pak Balam, mereka semua memutuskan untuk pergi berburu.
Wak Katok memutuskan mengambil jalan pintas, ternyata jalan pintas itu melewati hutan yang sangat lembab. Hutan ini pun seperti tak pernah disentuh makhluk hidup kecuali babi dan badak. Mereka ingin keluar dari rimba jahat tersebut, tetapi Wak Katok yang menjadi pemimpin rombongan tersebut hanya membuat mereka berputar – putar di jalan yang sama karena sebenarnya Wak Katok takut memburu harimau. Setelah itu, Wak Katok malah marah – marah sendiri, dan memaksa satu persatu orang untuk mengakui dosa – dosanya. Semuanya mau menurut kecuali Buyung. Wak Katok memaksa Buyung dengan cara meletakkan senapan di dadanya, dan saat itu pula suara auman harimau terdengar. Setelah harimau pergi, Wak Katok tak dapat diajak berbicara lagi yang akhirnya Wak Katok pun mengusir mereka.
Buyung, Pak Haji, dan Sanip menyusun rencana untuk mengambil senapan. Senapan berhasil diambil setelah melalui perkelahian. Wak Katok akhirnya pingsan dan akhirnya Pak Haji meninggal karena luka yang disebabkan oleh Wak Katok. Setelah sihir yang dimiliki oleh Wak Katok, Buyung menyusun rencana yang sangat bagus hingga akhirnya dapat membunuh harimau tersebut.
Ia membunuh dengan cara melepaskan bidikan tepat mengenai sasaran dan harimaupun mati. Ketika itu ia menggunakan Wak Katok sebagai umpan dan Wak Katok diikat di sebuah batang pohon yang besar. Kini mengertilah Buyung maksud kata – kata Pak Haji bahwa untuk keselamatan kita hendaklah dibunuh dahulu harimau yang ada di dalam diri kita. Untuk membina kemanusiaan perlu kecintaan sesama manusia. Seorang diri tidak dapat hidup sebagai manusia. Buyung menyadari bahwa ia harus mencintai sesama manusia dan ia akan sungguh – sungguh mencintai Zaitun. Buyung merasa lega bahwa ia terbebas dari hal – hal yang bersifat takhayul, mantera – mantera, jimat yang penuh kepalsuan dari Wak Katok. Sekeluar dari hutan Buyung dan Sanip berencana melaporkan Wak Katok ke polisi.
KOMENTAR :
Novel Harimau-Harimau mengangkat tema mengenai kehidupn masyarakat yang gemar berburu dan bekerja dengan mengumpulkan hasil-hasil hutan seperti damar. Menceritakan tentang kepercayaan terhadap mitos-mitos yang berkembang di kalangan masyarakat, seperti tentang jimat-jimat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan daerah. Kehidupan percintaan pun masih dibahas walaupun hanya sedikit. Alur yang digunakan adalah alur maju, latar tempatnya berada di hutan. Sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga, terbukti dengan pemberian nama pada tokoh-tokohnya. Amanat yang disampaikan dalam novel ini adalah, hendaknya setiap orang dapat mengendalikan hawa nafsunya, jangan sampai hawa nafsu menguasai diri sendiri.
Sinopsis Layar Terkembang
Judul : Layar Terkembang
Pengarang : Sutan Takdir Alisjahbana
Penerbit : Balai Pustaka
Pengarang : Sutan Takdir Alisjahbana
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : 33
Tahun terbit : 2001(terbit pertama kali tahun 1936)
Tebal Buku : 166 Halaman
Tahun terbit : 2001(terbit pertama kali tahun 1936)
Tebal Buku : 166 Halaman
Tuti adalah putri sulung Raden Wiriatmadja. Dia dikenal sebagai seorang gadis yang pendiam teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu serius dan cenderung pendiam sangat berbeda dengan adiknya Maria. Ia seorang gadis yang lincah dan periang.
Suatu hari, keduanya pergi ke gedung akuarium. Ketika sedang asyik melihat-lihat ikan, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlanjut dengan perkenalan. Pemuda itu bernama Yusuf, seorang Mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Ayahnya adalah Demang Munaf, tinggap di Martapura, Sumatra Selatan.
Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan diantarnya Tuti dan Maria pulang. Bagi yusuf, perteman itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selalu teringat kepada kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak tertumpah. Menurutnya wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis.
Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan Hotel Des Indes. Yusuf pun kemudian dengan senang hati menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.
Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap. Sementara itu Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi hubungan persahabatan biasa.
Tuti sendiri terus disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres Putri Sedar yang berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan emansipasi wanita. Suatu petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk memajukan kaumnya.
Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesungguhnya ia bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan tanah leluhurnya, namun ternyata ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian, datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalannya bersama Rukamah, saudara sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk kembali ke Jakarta, kemudian menyusul sang pujaan hati ke Bandung. Setelah mendapat restu ibunya, pemuda itu pun segera meninggalkan Martapura.
Kedatangan Yusuf tentu saja disambut hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun melepas rindu masing-masing dengan berjalan-jalan di sekitar air terjun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya kepada Maria.
Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Sesungguhpun demikian pikiran Tuti tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada teman sejawatnya, Supomo. Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.
Ketika Maria mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat itulah tiba adik Supomo yang ternyata disuruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal keinginandsnya untuk menjalin cinta dengannya. Sesungguhpun gadis itu sebenarnya sedang merindukan cinta kasih seorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya. Maka ia menulis surat penolakannya.
Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk merawatnya di rumah sakit. Ternyata menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakit TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria dibawa ke rumah sakit TBC di Pacet, Sindanglaya JawaBarat.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya. Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih daripada itu, Maria mulai merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampaknya ia sudah pasrah menerima kenyataan.
Pada suatu kesempatan, disaat Tuti dan Yusuf berlibur di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya, disitulah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami istri yang melewati hari-harinya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga mampu membimbing masyarakat sekitarnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupan mulia, mengabdi kepada masyarakat tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiatan-kegiatan organisasi, sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarakat mana pun, pengabdian itu dapat dilakukan.
Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya pun rupanya sudah tak dapat berbuat lebih banyak lagi. Kemudian setelah Maria sempat berpesan kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria mengjhembuskan napasnya yang terakhir. “Alangkah bahagianya saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari ini. Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidak rela selama-lamanya kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain”. Demikianlah pesan terakhir almarhum Maria. Lalu sesuai dengan pesan tersebut Yusuf dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan karena cinta keduanya memang sudah mulai tumbuh bersemi.
KOMENTAR :
Layar Terkembang memiliki karakteristik sesuai dengan angkatannya yaitu Pujangga Baru. Novel ini mengangkat tema mengenai emansipasi wnita yang lekat dengan sosok Tuti. Selain itu juga mengangkat tema mengenai romantisme yang terjadi antara Yusuf dan Maria. Bahasa yang digunakannya adalah bahasa Indonesia masyarakat saat itu, kosa katanya masih sedrhana, dan masih terbawa oleh gaya bahasa melayu. Dalam karya ini terlihat belum ada sesuatu yang berani menentang Belanda secara terang-terangan. Namun semangat nasionalisme sudah mulai ada dan tumbuh. Latar tempat yang digunakan diantaranya adalah Gedung Akuarium di Pasar Ikan, Rumah Wiriaatmaja, Mertapura di Kalimantan Selatan, Rumah Ratna dan Saleh, Rumah Sakit di Pacet, Rumah Partadiharja, Gedung Permufakatan. Sudut pandang yang digunakan adalah Orang ketiga yang ditandai dengan menggunakan nama dalam menyebutkan tokoh-tokohnya. Alur yang digunakan adalah alur maju. Amanat yang sangat jelas dalam novel ini adalah seorang wanita harus mempunyai pengetahuan yang luas, agar dapat dihargai kedudukannya di dalam masyarakat dan tidak diremehkan.
Sinopsis Roman Siti Nurbaya
Judul : Siti Nurbaya ( Kasih Tak Sampai )
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : 20
Tahun Terbit : 1990 (terbit pertama kali tahun 1920)
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal Buku : 271 halaman
Pengarang : Marah Rusli
Penerbit : Balai Pustaka
Cetakan : 20
Tahun Terbit : 1990 (terbit pertama kali tahun 1920)
Tempat Terbit : Jakarta
Tebal Buku : 271 halaman
Saat Siti Nurbaya masih kanak-kanak, ibunya meninggal. Inilah titik awal penderitaan hidup Siti Nurbaya. Sejak saat itu hingga dewasa dan mengerti cinta ia hanya hidup bersama Baginda Sulaiman, ayah yang sangat disayanginya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang terkemuka di kota Padang. Sebagian modal usahanya merupakan uang pinjaman dari seorang rentenir bernama Datuk Maringgih.
Pada mulanya usaha perdagangan Baginda Sulaiman mendapat kemajuan pesat. Hal itu tidak dikehendaki oleh rentenir seperti Datuk Maringgih. Maka untuk melampiaskan keserakahannya Datuk Maringgih menyuruh kaki tangannya membakar semua kios milik Baginda Sulaiman. Maka dengan seluruh orang suruhanya, yaitu pendekar lima, pendekar empat serta pendekar tiga, serta yang lainnya Datuk Maringgih memerintahkan untuk membakar toko Baginda Sulaiman. Dengan demikian hancurlah usaha Baginda Sulaiman. Ia jatuh miskin dan tak sanggup membayar hutang-hutangnya pada Datuk Maringgih. Dan inilah kesempatan yang dinanti-nantikan oleh Datuk Maringgih. Datuk Maringgih mendesak Baginda Sulaiman yang sudah tidak berdaya agar melunasi semua hutangnya. Hutang tersebut dapat dianggap lunas, asalkan Baginda Sulaiman mau menyerahkan Siti Nurbaya kepada Datuk Maringgih.
Menghadapi kenyataan seperti itu Baginda Sulaiman yang memang sudah tak sanggup lagi membayar hutang-hutangnya tidak menemukan pilihan lain selain yang ditawarkan oleh Datuk Maringgih. Yaitu menyarahkan puterinya Siti Nurbaya kepada Datuk Maringgih untuk dijadikan istri.
Siti Nurbaya menangis menghadapi kenyataan bahwa dirinya yang cantik dan muda belia harus menikah dengan Datuk Maringgih yang tua bangka dan berkulit kasar. Lebih sedih lagi ketika ia teringat Samsulbahri, kekasihnya yang sedang sekolah di stovia, Jakarta. Sungguh berat memang, namun demi keselamatan dan kebahagiaan ayahandanya ia mau mengorbankan kehormatan dirinya dengan Datuk Maringgih.
Samsulbahri yang berada di Jakata mengetahui peristiwa yang terjadi di desanya, terlebih karena Siti Nurbaya mengirimkan surat yang menceritakan tentang nasib yang dialami keluarganya. Dia sangat terpukul oleh kenyataan itu. Cintanya yang menggebu-gebu padanya kandas sudah. Dan begitupun dengan Siti Nurbaya sendiri, hatinya pun begitu hancur pula, kasihnya yang begitu dalam pada Samsulbahri kandas sudah akibat petaka yang menimpa keluarganya.
Pada suatu hari ketika Samsulbahri sedang liburan kembali ke Padang, ia dapat bertemu empat mata dengan Siti Nurbaya yang telah resmi menjadi istri Datuk Maringgih. Pertemuan itu diketahui oleh Datuk Maringgih sehingga terjadi keributan. Datuk Maringgih sangat marah melihat mereka berdua yang sedang duduk bersenda gurau itu, sehingga Datuk maringgih berusaha menganiaya Siti Nurbaya. Samsulbahri tidak mau membiarkan kekasihnya dianiaya, maka Datuk Maringgih dia pukul hingga terjerembab jatuh ketanah. Karena saking kaget dan takut, Siti Nurbaya berteriak-teriak keras hingga teriakan Siti Nurbaya terdengar oleh ayahnya yang tengah terbaring karena sakit keras karena derita beruntun yang menimpanya. Mendengar teriakan anak yang sangat dicinatianya itu baginda Sulaiman berusaha bangkit, tetapi akhirnya jatuh tersungkur dan menghembuskan nafas terakhir.
Mendengar itu, ayah Samsulbahri yaitu Sultan Mahmud yang kebetulan menjadi penghulu kota Padang, malu atas perbuatan anaknya. Sehingga Samsulbahri diusir dan harus kembali ke Jakarta dan ia benrjanji untuk tidak kembali lagi kepada keluargannya di Padang. Datuk Maringgih juga tidak tinggal diam, oleh karena itu Siti Nurbaya diusirnya, karena dianggap telah mencoreng nama baik keluarganya dan adat istiadat. Siti Nurbaya kembali ke kampunyanya dan tinggal bersama bibinya. Sementara itu Samsulbahri yang ada di Jakarta hatinya hancur dan penuh dendam kepada Datuk Maringgih yang telah merebut kekasihnya.
Siti Nurbaya yang mendengar bahwa kekasihnya diusir orang tuanya, timbul niatnya untuk pergi menyusul Samsulbahri ke Jakarta. naumun di tengah perjalanan dia hampir meninggal dunia, ia terjatuh kelaut karena ada seseorang yang mendorongnya. Tetapi Siti Nurbaya diselamatkan oleh seseorang yang telah memegang bajunya hingga dia tidak jadi jatuh ke laut.
Tetapi, walaupun dia selamat dari marabahaya tersebut, tetapi marabahaya berikutnya menunggunya di daratan. Setibanya di Jakarta,Karena dengan siasat dan fitnah dari Datuk Mariggih Siti Nurbaya ditangkap polisi, karena surat telegram Datuk Maringgih yang memfitnah Siti Nurbaya, bahwa dia ke Jakarta telah membawa lari emasnya atau hartanya. Sehingga memaksa Siti Nurbaya kembali dengan perantaraan polisi.
Tak lama kemudian Siti Nurbaya meninggal dunia karena memakan lemang beracun yang sengaja diberikan oleh kaki tangan Datuk Maringgih. Kematian Siti Nurbaya itu terdengar oleh Samsulbahri sehingga ia menjadi putus asa dan mencoba melakukan bunuh diri. Akan tetapi mujurlah karena ia tak meninggal. Sejak saat itu Samsulbahri tidak meneruskan sekolahnya dan memasuki dinas militer.
Sepuluh tahun kemudian, dikisahkan dikota Padang sering terjadi huru-hara dan tindak kejahatan akibat ulah Datuk Maringgih dan orang-orangnya. Samsulbahri yang telah berpangkat Letnan dikirim untuk melakukan pengamanan. Samsulbahri yang mengubah namanya menjadi Letnan Mas segera menyerbu kota Padang. Ketika bertemu dengan Datuk Maringgih dalam suatu keributan tanpa berpikir panjang lagi Samsulbahri menembaknya. Datuk Maringgih jatuh tersungkur, namun sebelum tewas ia sempat membacok kepala Samsulbahri dengan parangnya.
Samsulbahri alias Letnan Mas segera dilarikan ke rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit, sebelum dia meninggal dunia, dia minta agar dipertemukan dengan ayahnya untuk minta maaf atas segala kesalahannya. Ayah Samsulbahri juga sangat menyesal telah mengata-ngatai dia tempo dulu, yaitu ketika kejadian Samsulbahri memukul Datuk Maringgih dan mengacau keluarga orang, yang sangat melanggar adat istiadat dan memalukan itu. Setelah berhasil betemu dengan ayahnya, Samsulbahripun meninggal dunia. Namun, sebelum meninggal dia minta kepada orangtuanya agar nanti di kuburkan di Gunung Padang dekat kekasihnya Siti Nurbaya. Perminataan itu dikabulkan oleh ayahnya, dia dikuburkan di Gunung Padang dekat dengan kuburan kekasihnya Siti Nurbaya. Dan di situlah kedua kekasih ini bertemu terakhir dan bersama untuk selama-lamanya.
KOMENTAR :
Novel Siti Nurbaya mengambil tema kawin paksa yang tren pada karya sastra saat itu, dan berbentuk roman. Masih menggunakan bahasa melayu dan bersifat kedaerahan. Kalimat-kalimatnya panjang-panjang dan terkadang menggunakan perbandingan-perbandingan. Setting tempatnya berada di Kota Padang, dan Jakarta. Alur yang digunakan adalah alur maju. Sudut pandang yang digunakan adlah orang ketiga, dibuktikan dengan pemberian nama pada tokoh-tokohnya. Amanat yang disampaikan dalam novel ini adalah Menjadi orang tua hendaknya lebih bijaksana, tidak memutuskan suatu persoalan hanya untuk menutupi perasaan malu belaka sehingga mungkin berakibat penyesalan yang tak terhingga.
Sinopsis Novel Jalan Tak Ada Ujung
Judul : Jalan Tak Ada Ujung
Pengarang : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun terbit : 2002 (terbit pertama kali tahun 1952)
Cetakan ke : 5
Tebal buku : 167 halaman
Isa adalah seorang guru Sekolah Rakyat di tanah abang. Ia memiliki sifat yang lembut dan baik hati. Ia gemar bermain biola dan sepak bola, namun iasering mengaalami ketakutan. Guru Isa sudah lama menikah dengan Fatimah. Namun, mereka belum dikaruniai seorang anak karena Guru Isa mengalami Impoten. Atas kesepakatan bersama, mereka mengangkat Salim sebagai anak angkat. Keadaan yang seperti itu membuat Guru Isa menjadi minder.
Suatu hari, Guru Isa berkenalan dengan seorang pejuang yang gigih bernama Hazil. Pergaulan mereka sangat akrab kerena memiliki hobi yang sama, yaitu bermain biola, guru Isa diajak berjuang, namun karena penyakitnya, ia tidak berani, dan ia juga tidak menyukai kekerasan. Karena Isa adalah seorang guru, maka tidak ada orang yang curiga, kemudian Hazil menyuruhnya untuk menjadi kurir yang mengantarkan senjata kepada kawan-kawannya.
Persahabatan yang kontras itu dirasakan oleh Guru Isa. Hazil adalah pejuang yang penuh semangat, sedangkan dirinya selalu ragu-ragu. Ia merasa ngeri melihat pertumpahan darah di medan perang. Mimpi buruk selalu menghantuinya. Meskipun ia ingin menampakkan cintanya kepada istrinya, namun tugasnya sebagai agen rahasia dirasa cukup berat.
Dalam tugas itu, Guru Isa dan Hazil mendapatkan bantuan dari Tuan Hamdi.Mereka harus membawa senjata-senjata yang sangat diperlukan. Bertiga dengan sopir mereka berangkat ke Manggarai. Di sana, senjata tersebut telah ditunggu oleh Ontong dan kawannya. Di sana Guru Isa melihat sendiri pembunuhan keji orang Tionghoa oeleh Ontong dkk, karena dianggap sebagai mata-mata musuh. Guru Isa berpendapat kepada Hazil agar Ontong dan kawan-kawan diberantas saja karena tidak baik mencampurkan antara perjuangan dan pembunuhan. Namun Hazil tidak bisa berbuat apa-apa.
Pada bulan Januari Rahmat mengantarkan surat Hazil untuk Guru Isa. Saat membaca surat iti, Guru Saleh, rekan guru Isa datang, Ia mengabarkan bahwa ia akan mengungsi karena tidak betah dengan kekacauan di daerah tempat tinggalnya. Mendengar hal itu Guru Isa malah bergembira, karena ternyata ada juga rekannya yang takut terhadap revolusi. Ia pun timbul niat untuk mengungsi.
Dalam suratnya Hazil mengatkan bahwa saat ini banyak pembunuhan yang kejam dengan kedok perjuangan dan atas nama rakyat. Selama sebulan ini Ia menghilang karena dicari oleh sekutu inggris Nevils dan Vield. Dalam hati Hazil muncul kebimbangan. Namun, segera ditetapkan hatinya, jalan yang tak ada ujung , yang telah dipilihnya, harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Ia harus kembali ke Jakarta.
Guru Isa harus menerima tugas baru sebagai pemegang dana untuk Jakarta. Penggeledahan oleh serdadu Nica semakin gencar, banyak orang gelisah dan mengungsi termasik Tuan Hamdi. Guru Isa ingin mengajak Fatimah mengungsi Namun ditolaknya. Karena gelisah, Guru Isa pun jatuh sakit. Hazil berkunjung ke rumah Guru Isa, di sanalah timbul asmara antara Hazil dan Fatimah, Guru Isa akhirnya mengetahui juga perbuatan menyimpang istrinya dengan menemukan puntungan rokok di bawah bantal. Guru Isa sangat marah, namun dia lebih memilih untuk diam.
Hazil, Rahmat, dan kawan-kawan semakin berani melakukan serangan kepada Belanda. Mereka berencana untuk menyerang serdadu Belanda disebuah bioskop, bioskop Rex namanya. Mereka melemparkan bom tanggan di depan pintu masuk bioskop tersebut. Beberapa serdadu Belanda terluka akibat ledakan bom tersebut. Setelah itu mereka bertiga pulang ke tempat masing-masing dan tidak saling memberi kabar untuk selang waktu yang lama.
Seminggu setelah itu Guru Isa membaca surat kabar yang menyebutkan bahwa salah satu pelempar granat ditangkap. Tiga hari kemudian Guru Isa ditangkap dan dijeblosdkan ke penjara. Di sana ia bertemu dengan Hazil yang sudah babak belur. Betapa kecewanya Guru Isa melihat Hazil yang telah berkhianat karena tidak mau di siksa sendirian, Saat itu kekagumannya akan Hazil lintur sudah. Ia bahkan tidak takut lagi menghadapi siksaan, dan saat itu pula, akhirnya kejantanannya kembali lagi, impotennya sembuh seketika. Selepas dari penjara Ia ingin menunjukkan kepada Fatimah bahwa ia sudah perkasa, dan berharap kehidupan rumah tangganya akan kembali bahagia.
Komentar :
Novel ini bertema perjuangan seorang guru pada masa revolusi. Setting pada novel tersebut sangat jelas menggambarkan bagaimana keadaan paska kemerdekaan. Setiap konflik digambarkan dengan tererinci mulai dari penyebab konflik, inti dari konflik hingga akibat dari konflik itu sendiri. Banyak pesan yang disampaikan melalui novel tersebut, salah satunya yaitu sebuah pesan tentang kesetiakawanan yang terjalin antara guru Isa dengan Hazil, mereka berjuang bersama untuk memberontak terhadap serdadu-serdadu bangsa lain. Juga terdapat pesan kesabaran guru Isa dalam menjalani kehidupan yang berat baginya. Bahasa yang digunakan sederhana sehingga mudah dicerna oleh pembaca. Alur yang digunakan adalah alur maju, sedangkan sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga, dibuktikan dengan pemberian nama pada tokoh-tokohnya.
SINOPSIS BEKISAR MERAH
Judul : Bekisar Merah
Pengarang : Ahmad Tohari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Keempat
Tahun terbit : 2001 (terbit pertama kali tahun 1993)
Tebal buku : 309 halaman
Lasi adalah seorang perempuan muda keturunan Jawa-Jepang. Ia lahir dan besar di sebuah desa bernama Karangsoga. Lasi merupakan perempuan paling cantik diantara teman sebayanya di Karangsoga. Semasa muda, Lasi selalu menjadi olok-olokan teman sekolahnya. Karena matanya yang sipit, berbeda dengan kebanyakan anak Karangsoga. Tetapi ada satu anak yang tidak ikut menggoda Lasi, bernama Kanjat. Dua tahun lebih muda, namun pintar dan baik hati, di mata Lasi.
Menginjak usia dewasa, Lasi kemudian menikah.Ia menjadi istri Darsa, pemanjat yang memiliki dua belas pohon kelapa. Sekaligus juga keponakan Wiryaji, ayah tirinya. Kehidupan pasangan muda ini berbahagia, meskipun dalam jerat kemiskinan dan bayangan masa depan tidak menentu. Sampai tiga tahun pernikahan, mereka belum juga memiliki keturunan.
Suatu ketika Darsa jatuh dari pohon kelapa, tidak mati tetapi mengalami luka parah, terus menerus buang air kecil tanpa henti. Dengan sabar Lasi merawatnya. Bahkan sampai menggadaikan tanah pada tengkulak untuk menutup biaya pengobatan Darsa di Rumah Sakit. Meskipun Ia tahu konsekuensinya, harga gula produksinya akan dipermainkan dengan seenak hati oleh tengkulak. Tapi Darsa belum sembuh benar, terpaksa dibawa pulang karena ketiadaan biaya.
Sampai di rumah, Darsa kemudian berobat pada dukun pijat, Bunek. Perlahan tapi pasti, Ia kemudian sembuh. Hingga suatu pagi, Ia mendatangi istrinya bercerita bahwa Ia sudah tidak ngompol lagi. Sejenak kebahagian dirasakan pasangan muda ini. Gairah yang sekian lama terpendam dapat disalurkan. Darsa kembali utuh sebagai lelaki.
Tetapi disinilah justru permasalahan dan konflik mulai terbangun. Tidak berapa lama semenjak kesembuhan Darsa. Sipah, anak Bunek meminta pertanggungjawaban. Ia mengaku hamil oleh perbuatan Darsa. Lasi kemudian kalut, bercampur sedih dan jengkel karena suami yang dirawat dengan penuh kasih dan pengorbanan semasa sakit ternyata berbuat tidak semestinya dengan perempuan lain. Lasi kemudian lari ke Jakarta, menumpang truk Pardi, tetangganya mengantarkan gula kelapa.
Sebagaimana sopir kebanyakan, Pardi memiliki sejumlah rumah makan langganan sepanjang perjalanan menuju Jakarta. Ia juga punya ’pacar’ di tiap rumah makan yang disinggahi. Lasi kemudian dititipkan di salah satu rumah makan langganan Pardi untuk diambil kembali sepulang dari Jakarta. Lasi diperlakukan dengan sangat baik oleh pemilik rumah makan, Bu Koneng. Seolah menemukan kedamaian, Ia tidak mau kembali ke Karangsoga. Tetapi tidak ada kebaikan tanpa pamrih, apalagi di kota besar seperti Jakarta.
Petualangan Lasi berlanjut. Karena keluguannya, Ia tidak sadar kalau masuk dalam perangkap perdagangan perempuan. Lepas dari Bu Koneng, Ia kemudian dibawa oleh Bu Lanting, yang terkagum akan kecantikan Lasi. Sekali lagi, Bu Lanting adalah orang baik di mata Lasi, sementara Lasi berprinsip bahwa ketika menerima kebaikan seseorang, Ia seperti berhutang sehingga harus dibayar dengan kebaikan pula. Karena itu ia menurut saja ketika diajak ikut Bu Lanting ke rumahnya. Perempuan bermata sipit pada masa itu memang sedang tren.
Oleh Bu Lanting, Lasi dipoles sedemikian rupa sehingga menjadi kian cantik. Ia juga dibiasakan dengan budaya kota, termasuk dalam hal berpakaian dan gaya hidup. Sampai dianggap siap, Ia kemudian dikenalkan dengan Handarbeni, lelaki tua yang kaya raya, yang sedang mencari perempuan bermata sipit untuk dijadikan istri.
Dengan kegundahan hatinya, namun tidak kuasa menolak karena hutang budinya kepada bu Lanting, akhirnya lasi bersedia menikah dengan pak Han. Sebelum menikah, Lasi ingin terlebih dahulu menyelesaikan perceraiannya dengan Darsa di Karangsoga, Lasi kembali ke Karangsoga sebagai ’sosok berbeda’. Lasi yang sangat kaya dan kian cantik Dengan bantuan pak Han, akhirnya dalam sekejap tuntas sudah perceraian Darsa dan Lasi.
Lasi kemudian menikah dengan pak Han yang sebenarnya lebih cocok jadi ayahnya. Pernikahan itu terkesan seperti pernikahan pura-pura dan tanpa makna. Meskipun setiap hari pak Han selalu memanjakan lasi dengan kepuasan lahiriah dan semua kebutuhannya serba tercukupi. Namun, pak Han tidak bisa memberikan kepuasan secara batin kepada lasi karena usianya yang sudah tua. Karena kasihan kepada Lasi pak Han bersedia mencarikan laki-laki untuk memenuhi kepuasan batin Lasi, namun dengan syarat Lasi tetap harus menjadi istrinya dan mampu menjaga rahasia. Karena lasi orang yang setia, dia merasa tersinggung dengan perkataan pak Han yang menurutnya adalah sebuah pelecehan.
Lasi kembali lagi ke Karangsoga untuk menjenguk orang tuanya dan tinggal disana untuk beberapa waktu. Di sana ia bertemu dengan Kanjat yang sudah menjadi sarjana dan ia menceritakan kepada Kanjat tentang kehidupan pernikahannya yang hanya terkesan man-main. Namun kanjat juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dua insan ini ternyata saling menyukai. Namun masing-masing harus menjalani takdirnya, Lasi kembali ke Jakarta dan menjalani pernikahan semu dengan Handarbeni. Sementara hatinya tetap untuk Kanjat.
KOMENTAR :
KOMENTAR :
Novel Bekisar merah ini sangat mencerminkan karakteristik karya sastra tahun 90’ an. Tema yang diangkat adalah kemiskinan, sosial, budaya, dan percintaan. Hal-hal yang diungkapkan realistis dan kritis, mengandung ungkapan atau sindiran. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa kelompok, pemilihan diksinya juga sudah tepat. Latar tempat yang di gunakan diantaranya adalah desa Karangsoga( rumah Lasi dan Darsa, rumah Wiryaji, Rumah Bunek, surau eyang Mus, Rumah Pak Tir), di Jakarta ( rumah bu Koneng, rumah bu Lanting, rumah Handarbeni/ Pak Han). Sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga yang ditandai pemberian nama dalam menyebutkan tokoh-tokohnya, alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju. Amanat yang disampaikan dalam novel ini adalah janganlah terlalu mudah percaya kepada orang yang baru dikenal dan menerima dengan mudah kebaikannya, karena ada kemungkinan bahwa orang tersebut menginginkan sesuatu.
Sinopsis Para Priyayi
(Umar Kayam)
Wanagalih adalah sebuah ibukota kabupaten. Kota itu lahir sejak pertengahan abad ke-19. Di kota itu Lantip sering teringat akan Mbah guru Sastrodarsono yang selalu memberikan nasihat pada seisi rumah setiap kali ia pulang dari pertemuan pagi.
Pada waktu hari semakin terang iring-iringan penjual berbagai dagangan semakin ramai menuju pasar, suara “cring-cring-cring” dari dokar yang ditarik kuda semakin sering dan bising pertemuan para pensiunan itu akan bubar, masing-masing akan pulang ke rumah untuk menyeropot kopi panas, mengganyang pisang goreng dan ubi rebus untuk kemudian disusul dengan mandi pagi dengan air hangat dan istirahat tidur atau duduk di kursi goyang.
Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu Wage. Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan Satenan di kota Wanagalih. Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya Desa Wanalawas yang hanya beberapa kilometer dari kota Wanagalih.
Hubungan Embok Lantip dengan keluarga Sastrodarsono itu dimulai dari penjualan tempe. Rupanya tempe buatan Embok Lantip itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Buktinya kemudian tempe Embok itu jadi langganan keluarga tersebut.
Lantip selalu ikut membantu menyiapkan dagangan tempe, dan ikut menjajakan nya berjalan di samping atau di belakang Mboknya menyelusuri jalan dan lorong kota. Lantip ingat bahwa dalam perjalan itu sengatan terik matahari Wanagalih. Wanagalih memang terkenal sangat panas dan rasa haus yang benar-benar mengeringkan tengorokan. Sekali waktu Lantip pernah merengek kepada Emboknya untuk dibelikan jajanan. Dengan ketus Emboknya menjawab dengan “Hesy! Ora usah”, dan Lantip pun terdiam. Lantip tahu Emboknya, meskipun murah hati juga sangat hemat dan tegas. Dia akan lebih senang bila kami melepas haus di sumur pojok alun-alun atau bila beruntung dapat sekedar air teh di rumah langganan Emboknya. Salah satu langganan Emboknya yang murah hati itu adalah keluarga Sastrodarsono. Mereka dipanggil oleh keluarga Sastrodarsono. Mereka menyebutnya dengan “Ndoro Guru” dan “Ndoro Guru Putri”. Waktu mereka melihat Embok datang membawa Lantip, Ndoro Guru menanyakan dengan nada suara sangatlah ulem-nya dan penuh wibawa.
“Lho, Yu, kok anakmu kamu bawa?”
“Inggih, Ndoro. Di rumah tidak ada orang yang menjaga tole.”
“Lha, kasian begitu. Anak sekecil itu kamu eteng-eteng ke mana-mana.”
“Habis bagaimana lagi, Ndoro.”
Lantip ingat bagaimana kedua suami-istri itu memandang mereka lama-lama. Lantip hanya menundukkan kepala saat percakapan berlangsung. Untuk seorang anak desa yang baru berumur enam tahun, dan anak bakul tempe yang sederhana, tidak mungkin ada keberanian baginya untuk mendongak ke atas, menatap muka priyayi-priyayi itu.
Sejak itu rumah keluarga Sastrodarsono menjadi tempat persinggahan mereka, hubungan mereka dengan keluarga itu menjadi akrab, bahkan lama-lama rumah itu menjadi semacam rumah kedua bagi mereka. Tetapi sangatlah tidak pantas rumah gebyok itu terlalu besar dan bagus untuk dikatakan rumah kedua mereka bila disejajarkan dengan rumah mereka yang terbuat dari gedek atau anyaman bambu di desa Wanalawas. Juga bila diingat bahwa rumah itu adalah rumah milik seorang priyayi, seorang mantri guru sekolah desa, yang pada zaman itu mempunyai kedudukan cukup tinggi di mata masyarakat seperti Wanagalih. Mantri guru sudah jelas didudukan masyarakat dan pemerintah sebagai priyayi, ia punya jabatan dan juga punya gaji.
Dalam rumah tangga Ndoro guru, di samping harus membesarkan anak-anaknya, juga menampung beberapa kemenakan. Dengan kata lain rumah tangga Ndoro guru adalah rumah tangga khas priyayi jawa. Sang priyayi adalah juga soko guru keluarga besar yang berkewajiban menampung sebanyak mungkin anggota keluarga –jaringan itu ke dalam rumah tangganya. Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan sendiri, tidak pantas, saru, bila ada seseorang anggota keluarga besar priyayi sampai kleleran, terbengkalai, jadi gelandangan, tidak menikmati pendidikan. Begitu sering saya dengar Ndoro guru menasehati anak-anaknya dan siapa saja.
Pada suatu sore sesudah persinggahan rutin mereka di jalan Setenan, mereka duduk di amben di depan rumah mereka di Wanalas. Emboknya kemudian mendudukan Lantip dihadapannya.
“Wage, Le, anakku yo, engger. Kamu sekarang sudah besar sudah enam tahun. Sudah waktunya kamu pergi dari desa yang kecil dan sumpek ini.”
“Pergi, Embok? Kita akan pergi?”
“Bukan kita. Kamu sendiri, Le.”
“Saya harus pergi ka mana, Embok?”
“Kamu akan nderek, ikut Ndoro Guru di Setenan, Le.”
“Kamu nderek Ndoro Guru supaya lekas pinter, lekas sekolah.”
Suatu hari sesudah Lantip tinggal bersama keluarga Sastrodarsono, Mbok berkunjung untuk menengok Lantip. Trdengar Ndoro Guru kakung menyatakan keinginannya agar Lantip disekolahkan karena waktu itu Lantip sudah berusia hampir tujuh tahun. Mereka juga mengusulkan agar mengganti nama Wage menjadi Lantip yang artinya cerdas, tajam otaknya.
Tidak terasa Lantip sudah duduk di kelas lima dan sudah membayangkan setahun lagi akan tamat sekolah Desa Karangdompol. Setamat sekolah akan banyak kesempatan meneruskan sekolah ke sekakel, schakel school kata orang Belanda, yaitu sekolah peralihan yang tujuh tahun lamanya. Lantip membayangkan setelah tamat sekolah akan bekerja dan dapat membalas budi Emboknya dan keluarga Ndoro Guru Sastrodarsono. Tapi, tiba-tiba datang kegoncangan itu! Pak dukuh datang dari Wanalawas dengan tergopoh-gopoh mengabarkan Emboknya meninggal karena keracunan jamur. Saat itu bagaimana hancur dan sedihnya hati Lantip.
Sastrodarsono, adalah anak tunggal Mas Atmokasan seorang anak petani desa Kedung Simo. Sebelumya ia hanya bekerja sebagai guru bantu di Ploso. Dengan janbatan guru bantu itu, berarti Sastrodarsono adalah orang pertama dalam keluarganya yang berhasil menjadi priyayi. Sastrodarsono dijodohkan dengan Ngaisah yang nama aslinya Aisah putri tunggalnya seorang mantri candu di Jogorogo. Dik Ngaisah, begitu ia memanggil istrinya, ia seorang istri yang mumpunyai lengkap akan kecakapan dan keprigelannya bukan hanya pandai mamasak ia juga memimpin para pembantu di dapur, karena memang sejak lahir ia sudah menjadi anak priyayi dibandingkan dengan Sastrodarsono yang baru akan menjadi priyayi.
Mereka tinggal setahun di Ploso yang kemudian membeli rumah kecil di jalan Satenan. Segera setelah mereka menempati rumah itu, Mereka dengan para pembantunya mulai mengembangkan tempat tinggal itu sebagaimana rumah tangga yang mereka inginkan yaitu rumah tangga priyayi. Akan tetapi bagaimanapun, naluri petani Sastrodarsono, dan juga Dik Ngaisah masih hadir juga dalam tubuh mereka. Mereka memilih untuk menggaji para buruh-buruh sawah untuk mengolah tegalan dan sawah yang ada di belakang rumahnya berbagai macam tanaman. Walaupun rumah tangga priyayi, mereka tidak boleh tergantung pada gaji. Jadi priyayi itu adalah menjadi orang terpandang kedudukannya di masyarakat bukan jadi orang kaya, tapi karena kepinterannya.
Anak-anak mereka lahir dalam jarak dua tahun antara seorang dengan yang lain. Noegroho anak yang paling tua, kemudian menyusul kelahiran adik-adik Noegroho, Hardojo dan Soemini. Anak-anaknya mereka masukan ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak priyayi, kemudian meneruskan pelajaran ke sekolah menengah atas priyayi, seperti MULO, AMS atau sekolah-sekolah guru menengah, seperti Sekolah Normaal, Kweek Sekul dan sebagainya. Menurut meneer Soetardjo dan meneer Soerojo di sekolahnya anak-anak mereka itu rata-rata bagus dalam bahasa Belanda dan berhitung, anak-anak meraka maju dan pintar di sekolah. Noegroho sangat senang dan kuat dalam sejarah dan ilmu bumi, Hardojo kuat dalam bahasa Belanda, mengarang dan berhitung, Soemini sangat fasih dalam bahasa Belandanya.
Dalam perkembangan pembangunan keluarganya, mereka tidak hanya membatasi mengurus keluarga mereka saja, mereka juga sangat memperhatikan anggota keluarga yang jauh baik dari Sastrodarsono maupun dari keluarga Dik Ngaisah. Ngadiman, anak dari sepupu Sastrodarsono dititipkan pada keluarganya untuk disekolahkan di HIS dan berhasil menjadi priyayi walaupun hanya priyayi rendahan yaitu bekerja sebagai juru tulis di kabupaten. Begitu juga dengan kemenakan lain seperti Soenandar, Sri dan Darmin, semuanya mereka sekolahkan di HIS.
Soenandar, yang masih kemenakan Dik Ngaisah mempunyai sifat yang sangat buruk walaupun berkali-kali sering dipukuli oleh Sastrodarsono dengan bambu agar kapok akan perbuatannya yang sering mencuri, dia juga sering mengganggu Sri dan Darmin saat mereka sedang sembahyang.
Soenandar yang jatuh cinta pada Ngadiyem ternyata adalah ayah Lantip, tetapi ia tidak mau mengakui kahamilan Ngadiyem Emboknya Lantip, bahkan ia minggat meninggalkan rumah Sastrodarsono yang akhirnya dapat diketahui dari laporan mantri polisi, Soenandar bergabung dengan gerombolan perampok yang dipimpin oleh Samin Genjik yang markasnya telah dibakar termasuk Seonandar yang dititipkan keluarganya kepada Sastrodarsono untuk menjadi priyayi juga hangus terbakar.
Semenjak Lantip mengetahui perihal ayahnya, ia merasa kecewa dan malu karena ia hanya anak jadah dan haram meskipun jelas bapaknya tetapi tidak mau menikah dengan Emboknya. Ternyata bapaknya adalah gerombolan perampok. Selain itu juga sekarang Lantip mengerti mengapa keluarga Sastrodarsono sangat memperhatikan kehidupannya dan Ngadiyem Emboknya, karena Soenandar, yang ayahnya Lantip itu, adalah masih tergolong keluarga dari Sastrodarsono.
Dalam mendidik dan membesarkan keponakan-keponakannya Sastrodarsono merasa tidak berhasil bila dibandingkan dengan anak-anak kandungnya, mereka mandapat pendidikan dan pekerjaan serta kedudukan yang baik.
Soemini yang sudah berumur dua belas tahun dan baru duduk di kelas lima. Dua tahun lagi dia sudah kelas tujuh umurnya empat balas tahun, dan sesudah tamat umurnya sudah dekat dengan lima belas tahun. Maka sudah sepantasnya dicarikan jodoh yang pantas buat Soemini. Soemini menikah dengan Raden Harjono, seorang mantri polisi, anak tunggal Kamas Soemodiwongso. Keluarga Sastrodarsono sangat terkesan dengan perilaku Raden Harjono yang sopan, luwes, ngganteng, baik hati, dan cerdas.
Dalam rumah tangganya Soemini mendapat goncangan karena mengetahui suaminya Harjono selingkuh dengan perempuan yang bekerja sebagai penyanyi keroncong Sri Asih. Ia mengadu kepada Sastrodarsono. Tetapi akhirnya dapat terselesaikan.
Hardojo anak kedua Sastrodarsono, anak yang paling cerdas dan yang paling banyak disenangi orang. Sekarang seperti adiknya, Soemini, sudah mapan mau membangun rumah tangga di tempatnya ia mengajar di Yogya dengan seorang guru tamatan kweekschool tetapi beragama Katholik. Orang tuanya, orang baik-baik, priyayi, guru di sekolah HIS katolik di Solo. Tetapi keinginan menikah dengan Dik Nunuk yang nama lengkapnya adalah Maria Magdalena Sri Moerniati begitu nama calon istri Nugroho, guru sekolah dasar khusus untuk anak perempuan di kampung Beskalan ditolak oleh keluarga Sastrodarsono yang keluarganya beragama Islam.
Setelah kegagalan menikah dengan Dik Nunuk hidup Nugroho merasa tidak bergairah lagi. Prilaku dan sifat Dik Nunuk selalu membayangi kehidupannya dan apabila ia teringat dengan Nunuk ia selalu mampir kepada Bude Suminah di Penumping, sekedar membicarakan masa lalunya dengan Nunuk, karena berkat Bude Suminah itulah kedekatannya dengan Nunuk.
Pada suatu sore Nugroho sedang memimpin murid-murid kelas tujuh bermain kasti. Seperti biasa mereka bermain dengan gembira dan penuh gurauan. Kemudian giliran Soemarti yang memukul bola, tetapi saat berlari menuju hong kakinya terporosok dan jatuh. Soemarti mengaduh kesakitan dan cepat mendapat pertolongan Noegroho. Sejak kejadian itu Nugroho lebih sering berkunjung ke rumah Soemarti anak tunggal keluarga priyayi Brotodinomo seorang pensiunan panewu, kira-kira sederajat dengan asisten wedana di Wonogiri. Yang akhirnya mereka menikah dan mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang bernama Harimurti.
Sesudah Noegroho kembali ke Wanagalih untuk menghibur bapaknya yang merasa sangat terpukul oleh tempelengan tuan Nippon, hal ini dikarena bapaknya dituduh mendirikan sekolah liar, padahal Sastrodarsono mendirikan sekolah hanya untuk menolong orang-orang desa yang tidak bisa membaca dan menulis, “yang disebut sekolah di Wanalas itu usaha kami sekeluarga. Kami pengagum Raden Adjeng Kartini, Ndoro. Kami Cuma meniru beliau, Ndoro.” Begitu ucapan bapaknya masih terngiang di telinga Noegroho saat beralasan pada tuan Nippon.
Seperti biasa Noegroho kembali bekerja di Sekolah Rakyat Sempurna di Jetis sekolah pada jaman Jepang gouverment’s HIS Jetis. Tetapi tanpa di duga Noegroho mendapat panggilan terpilih untuk ikut tentara peta atau Pembela tanah Air, dan segera berangkat ke Bogor untuk menjalani latihan dan saringan yang nantinya dapat ditempatkan di daidan-daidan atau batalyon-batalyon di Jawa.
Dalam mengurus rumah tangganya Noegroho tidak berhasil seperti kedudukannya yang priyayi yang terhormat dikalangan masyarakat seperti yang diharapkan oleh Sastrodarsono, karena Marie anak perempuan Noegroho hamil sebelum menikah. Maridjan, laki-laki yang menghamilinya, adalah laki-laki miskin, orang desa, kehidupannya pun cukup dengan mengontrak. Yang lebih parahnya lagi Maridjan itu pernah memperkosa pembantu rumah kost-nya sampai akhirnya menikah dan pada saat kenal dengan Marie, Maridjan dalam kasus perceraian. Tetapi berkat bantuan Lantip dan Hari akhirnya Maridjan menikahi Marie.
Persiapan pernikahan Marie dikalutkan dengan meninggalnya Mbah Putri. Saat pernikahan Marie, Sastrodarsono tidak dapat menghadirnya karena masih terlihat lemas (mengurusi meninggalknya Mbah Putri).
***
Gus Hari anak tunggalnya Hardojo sudah diduga sejak kecil tumbuh sebagai pemuda yang peka, gampang menaruh belas kepada penderitaan orang. Dia sangat cerdas dan banyak menaruh perhatian pada bidang kesenian. Tetapi walaupun ia keluaran dari suatu perguruan tinggi dalam kehidupannya tidak memanfaatkan hasil kuliahnya itu tetapi ia bergabung dengan lekra kesenian wayang.
Dalam kesempatan itulah Hari pun berkenalan dengan Gadis seorang penulis nama aslinya Retno Dumilah yang menjadi pacarnya, karena kedekatannya itu sampai mereka pun melakukan perbuatan yang dilarang agama sampai akhirnya Gadis pun hamil. Mengetahui hal itu Hari sangat ingin segera menikahi Gadis. Pada waktu pertunangan Lantip dengan Halimah kesempatan itu dipergunakan Hari untuk memperkenalkan calon istrinya itu pada keluarga besar Sastrodarsono.
Pada suatu waktu mereka mengadakan pawai yang meneriakan dukungannya kepada Dewan Revolusi, Hari bersama Gadis yang sama-sama tergabung dalam kesenian terperangkap, karena pada saat itu ABRI sedang mengambil alih mengadakan pembersihan terhadap semua anggota PKI dan ormas-ormasnya.
“Hari, kamu dalam bahaya. Sebaiknya kamu jangan lari. Nanti kita cari jalan yang sebaiknya agar kau bisa selamat.”
“Saya memang tidak akan lari. Saya akan jelaskan semuanya jika ditangkap, saya kan bukan anggota PKI?”
Dalam keadaan gawat seperti itu Lantip memberikan saran agar sebaiknya Hari meyerahkan dirinya, dan nanti bisa meminta bantuan pada Pakde Nugroho untuk pembebasannya.
Sementara Gadis pun tertangkap dan dianggapnya sebagai gerwani, ia hamil dalam penjara sampai akhirnya meninggal saat akan melahirkan bayi kembar laki-laki dan perempuan.
Sepeninggalannya Mbah putri kesehatan Eyang kakung semakin memburuk yang aampai akhirnya ia meninggal dunia. Dalam upacara sambutan selamat tinggal untuk Mbah kakung Sastrodarsono semua anggota keluarga Sastrodarsono tidak ada yang berani memberikan pidato kata-kata terakhir, pada akhirnya Lantip yang dijadikan wakil dari keluarga besar Sastrodarsono yang menyampaikan pidato selamat jalan kepada Embah kakung di makam itu.
Lantip teringat akan Mboknya dan ia pun menggandeng Halimah untuk pergi ke Wanalawas untuk berziarah ke makam Mboknya.
Pada waktu hari semakin terang iring-iringan penjual berbagai dagangan semakin ramai menuju pasar, suara “cring-cring-cring” dari dokar yang ditarik kuda semakin sering dan bising pertemuan para pensiunan itu akan bubar, masing-masing akan pulang ke rumah untuk menyeropot kopi panas, mengganyang pisang goreng dan ubi rebus untuk kemudian disusul dengan mandi pagi dengan air hangat dan istirahat tidur atau duduk di kursi goyang.
Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu Wage. Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan Satenan di kota Wanagalih. Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya Desa Wanalawas yang hanya beberapa kilometer dari kota Wanagalih.
Hubungan Embok Lantip dengan keluarga Sastrodarsono itu dimulai dari penjualan tempe. Rupanya tempe buatan Embok Lantip itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Buktinya kemudian tempe Embok itu jadi langganan keluarga tersebut.
Lantip selalu ikut membantu menyiapkan dagangan tempe, dan ikut menjajakan nya berjalan di samping atau di belakang Mboknya menyelusuri jalan dan lorong kota. Lantip ingat bahwa dalam perjalan itu sengatan terik matahari Wanagalih. Wanagalih memang terkenal sangat panas dan rasa haus yang benar-benar mengeringkan tengorokan. Sekali waktu Lantip pernah merengek kepada Emboknya untuk dibelikan jajanan. Dengan ketus Emboknya menjawab dengan “Hesy! Ora usah”, dan Lantip pun terdiam. Lantip tahu Emboknya, meskipun murah hati juga sangat hemat dan tegas. Dia akan lebih senang bila kami melepas haus di sumur pojok alun-alun atau bila beruntung dapat sekedar air teh di rumah langganan Emboknya. Salah satu langganan Emboknya yang murah hati itu adalah keluarga Sastrodarsono. Mereka dipanggil oleh keluarga Sastrodarsono. Mereka menyebutnya dengan “Ndoro Guru” dan “Ndoro Guru Putri”. Waktu mereka melihat Embok datang membawa Lantip, Ndoro Guru menanyakan dengan nada suara sangatlah ulem-nya dan penuh wibawa.
“Lho, Yu, kok anakmu kamu bawa?”
“Inggih, Ndoro. Di rumah tidak ada orang yang menjaga tole.”
“Lha, kasian begitu. Anak sekecil itu kamu eteng-eteng ke mana-mana.”
“Habis bagaimana lagi, Ndoro.”
Lantip ingat bagaimana kedua suami-istri itu memandang mereka lama-lama. Lantip hanya menundukkan kepala saat percakapan berlangsung. Untuk seorang anak desa yang baru berumur enam tahun, dan anak bakul tempe yang sederhana, tidak mungkin ada keberanian baginya untuk mendongak ke atas, menatap muka priyayi-priyayi itu.
Sejak itu rumah keluarga Sastrodarsono menjadi tempat persinggahan mereka, hubungan mereka dengan keluarga itu menjadi akrab, bahkan lama-lama rumah itu menjadi semacam rumah kedua bagi mereka. Tetapi sangatlah tidak pantas rumah gebyok itu terlalu besar dan bagus untuk dikatakan rumah kedua mereka bila disejajarkan dengan rumah mereka yang terbuat dari gedek atau anyaman bambu di desa Wanalawas. Juga bila diingat bahwa rumah itu adalah rumah milik seorang priyayi, seorang mantri guru sekolah desa, yang pada zaman itu mempunyai kedudukan cukup tinggi di mata masyarakat seperti Wanagalih. Mantri guru sudah jelas didudukan masyarakat dan pemerintah sebagai priyayi, ia punya jabatan dan juga punya gaji.
Dalam rumah tangga Ndoro guru, di samping harus membesarkan anak-anaknya, juga menampung beberapa kemenakan. Dengan kata lain rumah tangga Ndoro guru adalah rumah tangga khas priyayi jawa. Sang priyayi adalah juga soko guru keluarga besar yang berkewajiban menampung sebanyak mungkin anggota keluarga –jaringan itu ke dalam rumah tangganya. Rezeki dan pangkat itu jangan dimakan sendiri, tidak pantas, saru, bila ada seseorang anggota keluarga besar priyayi sampai kleleran, terbengkalai, jadi gelandangan, tidak menikmati pendidikan. Begitu sering saya dengar Ndoro guru menasehati anak-anaknya dan siapa saja.
Pada suatu sore sesudah persinggahan rutin mereka di jalan Setenan, mereka duduk di amben di depan rumah mereka di Wanalas. Emboknya kemudian mendudukan Lantip dihadapannya.
“Wage, Le, anakku yo, engger. Kamu sekarang sudah besar sudah enam tahun. Sudah waktunya kamu pergi dari desa yang kecil dan sumpek ini.”
“Pergi, Embok? Kita akan pergi?”
“Bukan kita. Kamu sendiri, Le.”
“Saya harus pergi ka mana, Embok?”
“Kamu akan nderek, ikut Ndoro Guru di Setenan, Le.”
“Kamu nderek Ndoro Guru supaya lekas pinter, lekas sekolah.”
Suatu hari sesudah Lantip tinggal bersama keluarga Sastrodarsono, Mbok berkunjung untuk menengok Lantip. Trdengar Ndoro Guru kakung menyatakan keinginannya agar Lantip disekolahkan karena waktu itu Lantip sudah berusia hampir tujuh tahun. Mereka juga mengusulkan agar mengganti nama Wage menjadi Lantip yang artinya cerdas, tajam otaknya.
Tidak terasa Lantip sudah duduk di kelas lima dan sudah membayangkan setahun lagi akan tamat sekolah Desa Karangdompol. Setamat sekolah akan banyak kesempatan meneruskan sekolah ke sekakel, schakel school kata orang Belanda, yaitu sekolah peralihan yang tujuh tahun lamanya. Lantip membayangkan setelah tamat sekolah akan bekerja dan dapat membalas budi Emboknya dan keluarga Ndoro Guru Sastrodarsono. Tapi, tiba-tiba datang kegoncangan itu! Pak dukuh datang dari Wanalawas dengan tergopoh-gopoh mengabarkan Emboknya meninggal karena keracunan jamur. Saat itu bagaimana hancur dan sedihnya hati Lantip.
Sastrodarsono, adalah anak tunggal Mas Atmokasan seorang anak petani desa Kedung Simo. Sebelumya ia hanya bekerja sebagai guru bantu di Ploso. Dengan janbatan guru bantu itu, berarti Sastrodarsono adalah orang pertama dalam keluarganya yang berhasil menjadi priyayi. Sastrodarsono dijodohkan dengan Ngaisah yang nama aslinya Aisah putri tunggalnya seorang mantri candu di Jogorogo. Dik Ngaisah, begitu ia memanggil istrinya, ia seorang istri yang mumpunyai lengkap akan kecakapan dan keprigelannya bukan hanya pandai mamasak ia juga memimpin para pembantu di dapur, karena memang sejak lahir ia sudah menjadi anak priyayi dibandingkan dengan Sastrodarsono yang baru akan menjadi priyayi.
Mereka tinggal setahun di Ploso yang kemudian membeli rumah kecil di jalan Satenan. Segera setelah mereka menempati rumah itu, Mereka dengan para pembantunya mulai mengembangkan tempat tinggal itu sebagaimana rumah tangga yang mereka inginkan yaitu rumah tangga priyayi. Akan tetapi bagaimanapun, naluri petani Sastrodarsono, dan juga Dik Ngaisah masih hadir juga dalam tubuh mereka. Mereka memilih untuk menggaji para buruh-buruh sawah untuk mengolah tegalan dan sawah yang ada di belakang rumahnya berbagai macam tanaman. Walaupun rumah tangga priyayi, mereka tidak boleh tergantung pada gaji. Jadi priyayi itu adalah menjadi orang terpandang kedudukannya di masyarakat bukan jadi orang kaya, tapi karena kepinterannya.
Anak-anak mereka lahir dalam jarak dua tahun antara seorang dengan yang lain. Noegroho anak yang paling tua, kemudian menyusul kelahiran adik-adik Noegroho, Hardojo dan Soemini. Anak-anaknya mereka masukan ke sekolah HIS, sekolah dasar untuk anak-anak priyayi, kemudian meneruskan pelajaran ke sekolah menengah atas priyayi, seperti MULO, AMS atau sekolah-sekolah guru menengah, seperti Sekolah Normaal, Kweek Sekul dan sebagainya. Menurut meneer Soetardjo dan meneer Soerojo di sekolahnya anak-anak mereka itu rata-rata bagus dalam bahasa Belanda dan berhitung, anak-anak meraka maju dan pintar di sekolah. Noegroho sangat senang dan kuat dalam sejarah dan ilmu bumi, Hardojo kuat dalam bahasa Belanda, mengarang dan berhitung, Soemini sangat fasih dalam bahasa Belandanya.
Dalam perkembangan pembangunan keluarganya, mereka tidak hanya membatasi mengurus keluarga mereka saja, mereka juga sangat memperhatikan anggota keluarga yang jauh baik dari Sastrodarsono maupun dari keluarga Dik Ngaisah. Ngadiman, anak dari sepupu Sastrodarsono dititipkan pada keluarganya untuk disekolahkan di HIS dan berhasil menjadi priyayi walaupun hanya priyayi rendahan yaitu bekerja sebagai juru tulis di kabupaten. Begitu juga dengan kemenakan lain seperti Soenandar, Sri dan Darmin, semuanya mereka sekolahkan di HIS.
Soenandar, yang masih kemenakan Dik Ngaisah mempunyai sifat yang sangat buruk walaupun berkali-kali sering dipukuli oleh Sastrodarsono dengan bambu agar kapok akan perbuatannya yang sering mencuri, dia juga sering mengganggu Sri dan Darmin saat mereka sedang sembahyang.
Soenandar yang jatuh cinta pada Ngadiyem ternyata adalah ayah Lantip, tetapi ia tidak mau mengakui kahamilan Ngadiyem Emboknya Lantip, bahkan ia minggat meninggalkan rumah Sastrodarsono yang akhirnya dapat diketahui dari laporan mantri polisi, Soenandar bergabung dengan gerombolan perampok yang dipimpin oleh Samin Genjik yang markasnya telah dibakar termasuk Seonandar yang dititipkan keluarganya kepada Sastrodarsono untuk menjadi priyayi juga hangus terbakar.
Semenjak Lantip mengetahui perihal ayahnya, ia merasa kecewa dan malu karena ia hanya anak jadah dan haram meskipun jelas bapaknya tetapi tidak mau menikah dengan Emboknya. Ternyata bapaknya adalah gerombolan perampok. Selain itu juga sekarang Lantip mengerti mengapa keluarga Sastrodarsono sangat memperhatikan kehidupannya dan Ngadiyem Emboknya, karena Soenandar, yang ayahnya Lantip itu, adalah masih tergolong keluarga dari Sastrodarsono.
Dalam mendidik dan membesarkan keponakan-keponakannya Sastrodarsono merasa tidak berhasil bila dibandingkan dengan anak-anak kandungnya, mereka mandapat pendidikan dan pekerjaan serta kedudukan yang baik.
Soemini yang sudah berumur dua belas tahun dan baru duduk di kelas lima. Dua tahun lagi dia sudah kelas tujuh umurnya empat balas tahun, dan sesudah tamat umurnya sudah dekat dengan lima belas tahun. Maka sudah sepantasnya dicarikan jodoh yang pantas buat Soemini. Soemini menikah dengan Raden Harjono, seorang mantri polisi, anak tunggal Kamas Soemodiwongso. Keluarga Sastrodarsono sangat terkesan dengan perilaku Raden Harjono yang sopan, luwes, ngganteng, baik hati, dan cerdas.
Dalam rumah tangganya Soemini mendapat goncangan karena mengetahui suaminya Harjono selingkuh dengan perempuan yang bekerja sebagai penyanyi keroncong Sri Asih. Ia mengadu kepada Sastrodarsono. Tetapi akhirnya dapat terselesaikan.
Hardojo anak kedua Sastrodarsono, anak yang paling cerdas dan yang paling banyak disenangi orang. Sekarang seperti adiknya, Soemini, sudah mapan mau membangun rumah tangga di tempatnya ia mengajar di Yogya dengan seorang guru tamatan kweekschool tetapi beragama Katholik. Orang tuanya, orang baik-baik, priyayi, guru di sekolah HIS katolik di Solo. Tetapi keinginan menikah dengan Dik Nunuk yang nama lengkapnya adalah Maria Magdalena Sri Moerniati begitu nama calon istri Nugroho, guru sekolah dasar khusus untuk anak perempuan di kampung Beskalan ditolak oleh keluarga Sastrodarsono yang keluarganya beragama Islam.
Setelah kegagalan menikah dengan Dik Nunuk hidup Nugroho merasa tidak bergairah lagi. Prilaku dan sifat Dik Nunuk selalu membayangi kehidupannya dan apabila ia teringat dengan Nunuk ia selalu mampir kepada Bude Suminah di Penumping, sekedar membicarakan masa lalunya dengan Nunuk, karena berkat Bude Suminah itulah kedekatannya dengan Nunuk.
Pada suatu sore Nugroho sedang memimpin murid-murid kelas tujuh bermain kasti. Seperti biasa mereka bermain dengan gembira dan penuh gurauan. Kemudian giliran Soemarti yang memukul bola, tetapi saat berlari menuju hong kakinya terporosok dan jatuh. Soemarti mengaduh kesakitan dan cepat mendapat pertolongan Noegroho. Sejak kejadian itu Nugroho lebih sering berkunjung ke rumah Soemarti anak tunggal keluarga priyayi Brotodinomo seorang pensiunan panewu, kira-kira sederajat dengan asisten wedana di Wonogiri. Yang akhirnya mereka menikah dan mempunyai seorang anak tunggal laki-laki yang bernama Harimurti.
Sesudah Noegroho kembali ke Wanagalih untuk menghibur bapaknya yang merasa sangat terpukul oleh tempelengan tuan Nippon, hal ini dikarena bapaknya dituduh mendirikan sekolah liar, padahal Sastrodarsono mendirikan sekolah hanya untuk menolong orang-orang desa yang tidak bisa membaca dan menulis, “yang disebut sekolah di Wanalas itu usaha kami sekeluarga. Kami pengagum Raden Adjeng Kartini, Ndoro. Kami Cuma meniru beliau, Ndoro.” Begitu ucapan bapaknya masih terngiang di telinga Noegroho saat beralasan pada tuan Nippon.
Seperti biasa Noegroho kembali bekerja di Sekolah Rakyat Sempurna di Jetis sekolah pada jaman Jepang gouverment’s HIS Jetis. Tetapi tanpa di duga Noegroho mendapat panggilan terpilih untuk ikut tentara peta atau Pembela tanah Air, dan segera berangkat ke Bogor untuk menjalani latihan dan saringan yang nantinya dapat ditempatkan di daidan-daidan atau batalyon-batalyon di Jawa.
Dalam mengurus rumah tangganya Noegroho tidak berhasil seperti kedudukannya yang priyayi yang terhormat dikalangan masyarakat seperti yang diharapkan oleh Sastrodarsono, karena Marie anak perempuan Noegroho hamil sebelum menikah. Maridjan, laki-laki yang menghamilinya, adalah laki-laki miskin, orang desa, kehidupannya pun cukup dengan mengontrak. Yang lebih parahnya lagi Maridjan itu pernah memperkosa pembantu rumah kost-nya sampai akhirnya menikah dan pada saat kenal dengan Marie, Maridjan dalam kasus perceraian. Tetapi berkat bantuan Lantip dan Hari akhirnya Maridjan menikahi Marie.
Persiapan pernikahan Marie dikalutkan dengan meninggalnya Mbah Putri. Saat pernikahan Marie, Sastrodarsono tidak dapat menghadirnya karena masih terlihat lemas (mengurusi meninggalknya Mbah Putri).
***
Gus Hari anak tunggalnya Hardojo sudah diduga sejak kecil tumbuh sebagai pemuda yang peka, gampang menaruh belas kepada penderitaan orang. Dia sangat cerdas dan banyak menaruh perhatian pada bidang kesenian. Tetapi walaupun ia keluaran dari suatu perguruan tinggi dalam kehidupannya tidak memanfaatkan hasil kuliahnya itu tetapi ia bergabung dengan lekra kesenian wayang.
Dalam kesempatan itulah Hari pun berkenalan dengan Gadis seorang penulis nama aslinya Retno Dumilah yang menjadi pacarnya, karena kedekatannya itu sampai mereka pun melakukan perbuatan yang dilarang agama sampai akhirnya Gadis pun hamil. Mengetahui hal itu Hari sangat ingin segera menikahi Gadis. Pada waktu pertunangan Lantip dengan Halimah kesempatan itu dipergunakan Hari untuk memperkenalkan calon istrinya itu pada keluarga besar Sastrodarsono.
Pada suatu waktu mereka mengadakan pawai yang meneriakan dukungannya kepada Dewan Revolusi, Hari bersama Gadis yang sama-sama tergabung dalam kesenian terperangkap, karena pada saat itu ABRI sedang mengambil alih mengadakan pembersihan terhadap semua anggota PKI dan ormas-ormasnya.
“Hari, kamu dalam bahaya. Sebaiknya kamu jangan lari. Nanti kita cari jalan yang sebaiknya agar kau bisa selamat.”
“Saya memang tidak akan lari. Saya akan jelaskan semuanya jika ditangkap, saya kan bukan anggota PKI?”
Dalam keadaan gawat seperti itu Lantip memberikan saran agar sebaiknya Hari meyerahkan dirinya, dan nanti bisa meminta bantuan pada Pakde Nugroho untuk pembebasannya.
Sementara Gadis pun tertangkap dan dianggapnya sebagai gerwani, ia hamil dalam penjara sampai akhirnya meninggal saat akan melahirkan bayi kembar laki-laki dan perempuan.
Sepeninggalannya Mbah putri kesehatan Eyang kakung semakin memburuk yang aampai akhirnya ia meninggal dunia. Dalam upacara sambutan selamat tinggal untuk Mbah kakung Sastrodarsono semua anggota keluarga Sastrodarsono tidak ada yang berani memberikan pidato kata-kata terakhir, pada akhirnya Lantip yang dijadikan wakil dari keluarga besar Sastrodarsono yang menyampaikan pidato selamat jalan kepada Embah kakung di makam itu.
Lantip teringat akan Mboknya dan ia pun menggandeng Halimah untuk pergi ke Wanalawas untuk berziarah ke makam Mboknya.
Sinopsis Novel Maut dan Cinta
Novel karya Mochtar Lubis ini berkisah tentang Sadeli seorang anggota dinas rahasia TNI berpangkat mayor. Ia menyamar sebagai pedagang penjual hasil bumi ke luar negeri. Ia bertugas mengumpulkan dana, mencari senjata, alat-alat komunikasi dan membuka hubungan udara bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan kembali oleh Belanda.
Di Singapura, Sadeli berhasil mengumpulkan obat-obatan dan alat-alat komunikasi. Namun kegiatannya ini diketahui pleh dinas rahasia Inggris yang berkuasa di Singapura. Di Singapura ia dibantu Alinurdin, seorang wartawan yang juga memperkenalkan perjuangan rakyat Indonesia dan berhasil mendapatkan simpati orang-orang di luar dan dalam negeri.
Sadeli menemui Umar Yunus bawahannya yang mengenyam hidup mewah dan berfoya-foya. Umar Yunus lupa daratan karena terjebak oleh Mr. Yo yang menyodorkan wanita cantik, Ritalu. Dikemukakannya tentang tugasnya oleh Sadeli bahwa ia menyamar sebagai pedagang untuk membantu perjuangan RI. Diperintahkannya supaya Umar Yunus mengirim senjata, obat-obatan, dan alat-alat komunikasi ke Indonesia. Ia sendiri akan ke Bangkok untuk mencari seorang penerbang Amerika yang berpengalaman, untuk membuka jalur penerbangan luar negeri ke Indonesia.
Sadeli tidak mudah mendapatkan orang yang dicarinya. Namun akhirnya ia berhasil meyakinkan Dave Wayne, seorang pendeta dan penerbang. Sadeli dapat membuktikan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah mutlak, bangsa mana pun tidak boleh menindas bangsa lain, walaupun itu bangsanya sendiri. Sadeli pun berhasil meyakinkan Dave tentang agama, komunikasi, nazi, dan tata kehidupan dunia masa datang, termasuk Indonesia.
Sadeli menyusun rute penerbangan beserta tiga orang wartawan asing untuk memberitahukan dunia luar tentang revolusi Indonesia. Sementara itu ia menuntut agar Umar Yunus mengembalikan uang negara yang telah disalahgunakannya sebanyak 500 dolar dan berhenti dari dinas intelijen karena ia menyalahgunakan jabatannya. Namun Umar Yunus tetap membangkang kepada Sadeli, atasannya.
Dalam tugas mengantarkan senjata dan alat komunikasi ke Riau Sadeli membawa Umar Yunus dengan speedboat dan bermaksud menghadapkan Umar Yunus ke Pengadilan Militer. Di tengah laut mereka mendapat serangan convert Belanda. Berjatuhan kurban dalam speedboat dan mereka terdesak ke pantai. Peristiwa ini sangat berkesan dan menyadarkan Umar Yunus. Di hadapannya sendiri ia menyaksikan temannya mati tertembak dalam suasana yang sangat kritis.
Sadeli mendengar kata-kata pengakuan Umar Yunus, bahwa Sadeli memang benar. Ia bersedia menjadi apa saja untuk membantu Sadeli membela tanah air.
Umar Yunus kembali bertugas aktif dan sebaik-baiknya sebagai anggota dinas rahasia TNI sekalipun pangkatnya diturunkan menjadi letnan.
Akibat perjanjian Linggarjati keadaan di Indonesia tidak menguntungkan. Hal ini membuat Sadeli bekerja lebih keras di luar negeri. Untung saja penilaian Dave bahwa Indonesia ada di pihak yang benar.
Sadeli mendapat perintah untuk membeli Catarina, pesawat terbang yang dapat mendarat di permukaan air. Untuk itu ia harus pergi ke Hongkong. Dalam tugas itu ia berjumpa dengan Maria, seorang gadis cantik dan menarik. Kalau selama ini kasih mesra Sadeli belum tersentuh, kali ini ia terpikat kepada Maria. Mereka pun sama-sama jatuh cinta. Setelah selesai mengurus pembelian Catarina, Sadeli kembali ke Singapura dan melangsungkan pernikahan dengan Maria.
Sementara itu perkembangan di tanah air tidak menggembirakan. Kota Yogyakarta diduduki Belanda dan pemerintahan RI pindah ke Bukit Tinggi. Di Singapura Sadeli bekerja lebih keras, berjuang lebih giat. Dalam perjuangannya itu Sadeli melihat Maria membantu dengan sungguh-sungguh untuk membela nusa, bangsa, dan negara yang baru baginya.***